merawatingat

 

Dokumen Pribadi

Sebagai bangsa yang merdeka dan hidup dalam esensi nilai-nilai suasana reformasi. Masyarakat dari golongan manapun memiliki hak untuk bersuara dan menyampaikan sikapnya. Dasarnya tentu sangat jelas di dalam pembukaan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 telah menjamin tentang kebebasan berpikir dan kebebasan hati nurani di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kebebasan yang dimaksud bukanlah kebebasan yang sebebas-bebasnya seperti orang-orang di negara-negara liberal. Tidak sama, sama sekali tidak seperti mereka.

Sebagai bangsa pemenang yang bisa merdeka dari segala bentuk penjajahan bangsa barat rasanya sangatlah bahagia dan penuh rasa syukur karena tidak akan ada lagi yang namanya perilaku-perilaku penindasan, kesewenang wenangan, intimidasi, dan segala kata serupanya dari penjajah yang menurut cerita-cerita sejarah yang selalu kita baca bahwa bangsa penjajah suka sekali melakukan tindakan pemaksaan, kriminalisasi, dan bahkan merampas hak-hak rakyat Indonesia pada masa itu untuk kepentingan golongannya. Tidak sedikit kita mengalami penderitaan baik berupa benda bahkan nyawa sehingga membuat bangsa Indonesia mengalami kesengsaraan yang begitu mendalam.

Kemerdekaan yang susah payah kita dapatkan seharusnya kita nikmati dengan rasa khidmat dan penuh syukur yang berarti. Jangan sampai penjajahan jenis apapun baik itu pola penjajahan gaya lama ataupun penjajahan gaya baru terjadi lagi di negara Indonesia. Namun pada kenyataannya jauh panggang dari api. Ternyata masih ada saudara-saudara kita yang belum merdeka seutuhnya dan ditambah beberapa masalah utama yang ada dalam negeri ini seperti kemiskinan, budaya korupsi, pengangguran, anak putus sekolah, subsidi dihilangkan, utang terus menumpuk, pajak terus ditingkatkan.

Tidak hanya di sana saja pada sektor migas dan pengelolaan SDA misalnya dengan berbagai UU, sektor hilir (pengolahan, distribusi dan eceran) pun liberalisasi. Namun sebagai bangsa yang baik, tidak sepatutnya kita hanya menyalahkan pemerintah sesekali kita harus belajar membaca diri dan sebagai rakyat yang bersinergi dengan kinerja pemerintah kita harus percaya karena mereka adalah harapan rakyat.

Pada ruang lingkup lokal masih juga terjadi konflik-konflik berkepanjangan yang menjadi permasalahan rakyat seakan-akan hadirnya negara tidak bisa memberikan sebuah solusi, padahal negara hadir untuk memberikan solusi bagi warga negara. Seperti apa yang telah terjadi di Desa Pakel, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Masyarakat di desa Pakel ramai sekali pemberitaannya bahwa mereka mendapatkan kriminalisasi hak atas tanah yang mereka tempati. Warga Pakel kecewa terhadap kehadiran negara yang seharusnya hadir dan membela petani Pakel. Namun negara malah mengabaikan mandat UUD 1945 dan Undang-Undang Pokok Agraria nomor 5 tahun 1960.

Aksi pendudukan lahan oleh warga Pakel perlu dimaknai sebagai sebuah tindakan merebut hak mereka yang dijamin dalam peraturan negara. Perjuangan warga Pakel dilatarbelakangi oleh abainya negara dalam memenuhi dan menjamin hak dasar warga negara. Jikapun warga pakel salah dalam tindakan dan aksi-aksi tuntutan tersebut, tuan-tuan yang dipilih oleh suara rakyat seperti bupati dan jajarannya harus turun mewakili negara untuk memberikan solusi supaya tidak ada lagi masalah-masalah bertemakan kriminalisasi, intimidasi, dan perampasan yang menjadi keadaan semakin mengalami kegaduhan.

Problema yang dialami oleh masyarakat desa Pakel jika merujuk pada apa yang telah disimpulkan oleh Walhi Jawa Timur bahwa PT Bumi Sari tidak memiliki HGU di Pakel hal tersebut merujuk pada Surat Keputusan (SK) Menteri Dalam Negeri, nomor SK.35/HGU/DA/85, dijelaskan PT Bumi Sari hanya mengantongi HGU seluas 1189,81 hektare, terbagi dalam 2 Sertifikat, yakni Sertifikat HGU nomor 1 Kluncing dan Sertifikat HGU nomor 8 Songgon. Lalu pertanyaannya, mengapa masih berkepanjangan masalah tersebut, ada apa?

Sedih rasanya jika saya mendengar apa yang telah diutarakan oleh salah satu kuasa hukum desa Pakel. Sebagai orang yang membela masyarakat desa Pakel dirinya mengatakan bahwa orang-orang di Kementerian ATR/BPN seharusnya juga berkewajiban untuk menyelesaikan konflik agraria yang terjadi di Pakel. Selama satu abad perampasan tanah di Pakel, hampir selalu disertai dengan intimidasi dan kriminalisasi kepada masyarakat. Dan yang terbaru, tiga petani Desa Pakel bernama Mulyadi, Suwarno, dan Untung ditangkap oleh petugas kepolisian ketika hendak menghadiri rapat Asosiasi Kepala Desa Banyuwangi.

Peran bupati Banyuwangi dan jajarannya wajib menjadi penengah yang baik dalam kasus ini. Penengah yang tentunya memihak kebenaran dan menyuarakan apa yang menjadi kepentingan dan kebaikan bersama. Karena tujuan masyarakat memilih pemimpin daerah untuk kebaikan mererka dan supaya mereka benar-benar dilindungi. Dan sebagai penolong perantara Tuhan atas segala hal yang dirasa kurang adil dan menimbulkan kesengsaraan, jika pun sudah PT Bumi Sari sudah sesuai prosedur dan terbukti bahwa rakyat memang tidak memiliki hak atas tanahnya. Maka solusi apa yang akan diberikan untuk kebaikan rakyatnya setelahnya? Tidak elok rasanya jika rakyat ditelantarkan dengan penderitaan yang cukup panjang dengan adanya konflik yang berlarut-larut.

Karena di belahan bumi manapun sikap pemaksaan, Intimidasi, dan kriminalisasi tidak boleh dilakukan, semua negara tidak boleh membenarkan hal tersebut. Karena salah satu tujuan ideal bernegara adalah untuk mendapatkan perlindungan dan keamanan tentang hak-hak kita sebagai warga negara. Dan untuk Ibu Ipuk Fiestiandani Azwar Anas selaku bupati Banyuwangi. Masyarakat desa Pakel sangat-sangat membutuhkan pertolongan dan ketegasan ibu sebagai pemimpin, dan ada beberapa hal yang akan saya uraikan tentang sebuah perjuangan panjang rakyat ibu di desa Pakel dalam mempertahankan tanahnya (dihimpun dari beberapa informasi). Tolong Kami, Pakel. Semoga ibu tambah terketuk dan bersedia mengambil sikap untuk rakyatnya.

Riwayat Panjang Perjuangan Masyarakat Desa Pakel atas Tanahnya

Pada tahun 1925, sekitar 2956 warga yang diwakili oleh tujuh orang, yakni: Doelgani, Karso, Senen (Desa Sumber Rejo Pakel), Ngalimun (Desa Gombolirang), Martosengari, Radjie Samsi, dan Etek (Desa Jajag) mengajukan permohonan pembukaan hutan Sengkan Kandang dan Keseran, yang terletak di Desa Pakel, Banyuwangi kepada pemerintah kolonial Belanda.

Empat tahun kemudian, tanggal 11 Januari 1929, permohonan mereka dikabulkan dengan terbitnya Akta 1929. Doelgani dkk diberikan hak membuka lahan hutan seluas 4000 Bahu (3200 hektar) oleh Bupati Banyuwangi Notohadi Suryo

Namun dalam perjalanannya, Akta 1929 tersebut ternyata dirampas oleh Asisten Wedono Kabat (asisten pembantu pimpinan tingkat kabupaten/membawahi beberapa camat pada zaman kolonial Belanda).

Atas kasus perampasan tersebut, Doelgani dkk tetap berusaha melakukan pembukaan kawasan hutan yang disebutkan dalam Akta 1929, dan menguasainya sebagai lahan pertanian. Doelgani dkk juga terus mendesak pejabat kolonial Belanda yang dimaksud agar segera mengembalikan Akta 1929 tersebut kepada mereka.

Di era kolonial Jepang, pada tahun 1943, Doelgani dkk juga terus berjuang dan melancarkan berbagai usaha agar mendapatkan kembali hak pembukaan hutan Sengkan Kandang dan Keseran. Menurut catatan pengacara warga Pakel Tjan Gwan Kwie (ditulis pada tahun 1943) didapatkan keterangan tertulis bahwa dirinya yang mewakili warga Pakel telah mengirimkan surat kepada Paduka Tuan Syutyokan guna mendesak pemerintah Jepang agar segera menyelesaikan kasus yang dihadapi oleh warga Pakel.

Seolah tak pernah putus asa, di era Soekarno, pada tanggal 1 Juli 1963, 11 orang yang mewakili 717 warga Pakel, mengajukan surat “Permohonan Tanah Hutan Bebas” kepada Bupati Banyuwangi. Surat ini pada intinya meminta pemerintah agar memberikan izin dan alas hak kepada mereka atas lahan Hutan Sengkan Kandang Keseran yang terletak di Pakel, yang sebelumnya izinnya telah diberikan lewat Akta 1929 pada zaman Belanda.

Namun, pasca meletusnya tragedi kemanusiaan “30 September 1965”, warga Pakel memilih tiarap dan tidak melakukan kegiatan penanaman lahan di kawasan Akta 1929 untuk menghindari tuduhan sebagai anggota PKI.

Di era otoritarian Orde Baru yang dipimpin Soeharto tepatnya pada tanggal 17 September 1977, Tjan Gwan Kwie (pengacara warga Pakel) mencoba mengirimkan surat kepada Kas Kopkamtib di Jakarta, yang isinya menerangkan bahwa: Tanah yang diperjuangkan oleh Doelgani dkk seluas 4000 Bahu, yang terletak di Kecamatan Kabat (sekarang Kecamatan Licin) memang benar telah diterbitkan izinnya oleh Bupati Banyuwangi Notohadi Soeryo pada tahun 1929. Tanah yang dimaksud adalah tanah hutan bebas (bukan hutan tutupan), dikenal dengan nama Sengkan Kandang Keseran.

Dalam surat tersebut, menurut Tjan Gwan Kwie bahwa Kantor Boswezen Banyuwangi tampaknya telah menghalang-halangi permohonan warga Pakel, karena juga terdapat kelompok lain yang menginginkan lahan hutan Sengkan Kandang Keseran.

Selanjutnya lahan seluas 4000 Bahu tersebut, dikuasai oleh perusahaan perkebunan Bumi Sari dengan luasan mencapai 500 Ha, dan dikuasai oleh Perhutani seluas 500 Ha.

Di luar keterangan tertulis yang disusun oleh Tjan Gwan Kwie di atas, juga terdapat keterangan lisan dari warga Pakel berupa:

Bahwa pasca meletusnya tragedi kemanusiaan 30 September 1965, terdapat sebagian kecil warga Pakel melakukan kegiatan bercocok tanam di sebuah wilayah yang dikenal dengan nama Taman Glagah (bekas perkebunan Belanda yang tidak aktif) yang terletak di Desa Pakel.

Namun, lahan yang mereka kelola tersebut tiba-tiba diklaim menjadi milik perusahaan perkebunan PT Bumi Sari. Di awal klaimnya, PT Bumi Sari tidak menunjukkan tindakan pengusiran, dan mendorong warga untuk menanam tanaman kopi, kelapa, dll. Akan tetapi, pada tahun 1970-an, saat tanaman warga tersebut sudah tumbuh besar, PT Bumi Sari melakukan pengusiran terhadap warga.

Pada tanggal 13 Desember 1985, Kementerian Dalam Negeri menerbitkan HGU PT Bumi Sari. Hal itu tertuang dalam Surat Keputusan (SK) Menteri Dalam Negeri, nomor SK.35/HGU/DA/85, dengan penjelasan bahwa PT Bumi Sari mengantongi HGU seluas 11.898.100 meter persegi atau 1189,81 hektar. SK tersebut terbagi dalam 2 Sertifikat, yakni Sertifikat HGU Nomor 1 Kluncing dan Sertifikat HGU Nomor 8 Songgon. Kedua sertifikat HGU tersebut berakhir pada 31 Desember 2009.

Dengan merujuk SK HGU diatas, jelas dapat disimpulkan bahwa PT Bumi Sari tidak memiliki HGU di Desa Pakel, namun hanya di wilayah Songgon dan Kluncing (kedua wilayah ini tidak jauh dari Pakel). Akan tetapi dalam praktiknya, PT Bumi Sari melakukan penguasaan lahan hingga Desa Pakel.

Pada tanggal 5 Januari 1993, Muhammad Slamet (perwakilan warga Pakel) mengirimkan surat kepada Presiden RI, Menteri Kehutanan, Kepala BPN, Jaksa Agung, dan Ketua DPR, melaporkan dugaan jual beli lahan hutan Akta 1929 yang dilakukan oleh Perhutani. Patut ditambahkan, selain dikuasai oleh PT Bumi Sari, kawasan Akta 1929 juga dikuasai oleh Perhutani.

Surat Muhammad Slamet tersebut direspon oleh Menteri Agraria a.n Direktur Pengurusan Hak-hak atas Tanah pada 4 Januari 1995. Menteri Agraria meminta penjelasan Kepala BPN Jatim atas perkara yang dihadapi dan laporan Muhammad Slamet. Di era tersebut, untuk sekedar menyambung hidup, Muhammad Slamet dkk bekerja sebagai petani penyewa lahan Perhutani setelah tanah yang mereka perjuangkan (kawasan Akta 1929) dikuasai oleh Perhutani. Dalam praktiknya lahan tersebut juga diperjual-belikan oleh Perhutani kepada sekelompok orang, dan masyarakat Pakel juga dihalang-halangi untuk menyewa lahan.

Pada tanggal 16 Maret 1995, warga Pakel mencoba mengajukan kembali surat permohonan penyelesaian kasus yang mereka hadapi kepada Menteri Agraria/BPN di Jakarta.

Selanjutnya, pada 1 Juli 1998, 16 warga Pakel, diantaranya adalah Muhammad Slamet, mengajukan permohonan penyelesaian kasus yang mereka hadapi kepada Bupati Banyuwangi.

Pasca lengsernya Suharto, tepatnya sepanjang 1999-2001, warga Pakel melakukan aksi pendudukan lahan di kawasan Akta 1929 yang dikuasai oleh Perhutani. Namun, buntut dari aksi tersebut warga ditangkap, dipenjara, dan mengalami berbagai tindakan kekerasan fisik. Petugas Perhutani dan aparat keamanan juga merusak seluruh rumah dan tanaman warga.

Pada 16 Oktober 2001, DPR RI sempat tercatat melakukan pertemuan dengan komisi II DPR RI dan Sekjen Komite Advokasi Sosial dan Hukum Kehormatan dan Keadilan dengan agenda penyelesaian masalah tanah warga Pakel. Namun, menurut warga Pakel, pertemuan tersebut juga tidak mendorong penyelesaian kasus yang mereka hadapi.

Pada tanggal 13 Oktober 2008, warga Pakel, kembali mengirimkan surat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) agar segera menyelesaikan kasus yang mereka hadapi.

Dalam perjalanannya, sesuai surat BPN Banyuwangi, nomor 280/600.1.35.10/II/2018, tanggal 14 Februari 2018, ditegaskan bahwa tanah Desa Pakel tidak masuk dalam HGU PT Bumi Sari. Mendapatkan pernyataan tersebut, warga Pakel menganggap peluang kemenangan untuk mendapatkan tanah mereka kembali telah ada di depan mata.

Di akhir 2018, warga Pakel melakukan penanaman kembali di kawasan Akta 1929 yang dikuasai oleh PT Bumi Sari dengan ribuan batang pohon pisang. Akan tetapi pada Januari 2019, warga Pakel dilaporkan oleh Djohan Sugondo, pemilik PT Bumi Sari, dengan tuduhan telah menduduki lahan PT Bumi Sari. Atas tuduhan tersebut, warga Pakel dianggap melanggar Pasal 107 huruf a UU 39/2014 tentang Perkebunan. Dan buntutnya, 26 Warga Pakel dipanggil oleh pihak Polres Kota Banyuwangi.

Atas tuduhan tersebut, sedikitnya 11 orang warga Pakel juga dipanggil kembali oleh Polres Kota Banyuwangi pada Oktober 2019.

Sejarah panjang penindasan inilah yang akhirnya mendorong warga Pakel memutuskan untuk menduduki kembali lahan leluhur mereka pada 24 September 2020 sebagai jalan terakhir untuk mendapatkan lahan dan ruang hidup mereka. Aksi tersebut dilakukan di kawasan Akta 1929 yang dikuasai oleh PT Bumi Sari.

Saat ini PT Bumi Sari juga menggugat Kepala Desa Pakel di PTUN Surabaya karena dianggap turut berpihak pada perjuangan warganya.

Selain menghadapi kriminalisasi dan berbagai ancaman dari berbagai pihak, perjuangan warga Pakel untuk mendapatkan informasi-dokumen publik (dokumen HGU PT Bumi Sari) juga dihalang-halangi oleh BPN Banyuwangi. Terkait hal ini, tim hukum warga Pakel sedang mengajukan sengketa informasi publik di Komisi Informasi Publik (KIP), Jawa Timur.

Penulis:
Indra Andrianto, S.Pd.
Penulis buku Kumpulan Opini #MerawatIngat dan Buku Catatan Bingung


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama