“Hanya di Bali orang muslim sholat idul Fitri dan Idul Adha yang
jaga pecalang dari orang Hindu. Hanya di Bali orang Hindu menyambut
Nyepi, yang menggotong ogoh-ogoh sebagian orang Muslim“ – Prof. Dr. Yudana
AKHIR-AKHIR ini negara Indonesia sering mengalami carut marut dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara, terlihat dari kondisi masyarakat
Indonesia yang sering mengalami semisal konflik primordial atau konflik
horizontal di beberapa daerah. Sehingga bukan tidak mungkin, jika
konflik semacam ini tidak menemukan solusi tepat, maka sudah pasti NKRI
di ambang perpecahan.
Beberapa konflik agama, golongan, kesukuan bahkan merembet pada
bentrok antar generasi penerus bangsa di tingkat pelajar merupakan suatu
bukti bahwa bangsa kita sudah lupa akan keberadaan Pancasila yang
secara pengertian dasar yakni “Pancasila sebagai Dasar Negara,
Pancasila Sebagai Pandangan Hidup, Pancasila sebagai Filsafat bangsa dan
Pancasila sebagai Modus (siasat)” Pandangan ini tertulis dalam buku karangan Prof. Dr. Ketut Ridjin, Pendidikan Pancasila.
Saat era Orde Baru tentu Pancasila cukup ditekankan dengan pemahaman
P4 bahkan butir-butir dalam Pancasila di tingkat sekolah, pelajar wajib
tahu dan memahaminya, tentu tidak hanya sekedar dihafalkan saja tetapi
bagaimana kita menghayati dan mengaktualisasikan dalam kehidupan
sehari-hari sehingga menjadi bangsa yang sesuai dengan cita-cita
Pancasila yaitu masyarakat yang Pancasilais.
Tentang Pancasila ini sempat terdengar saat saya mengikuti seminar
nasional di Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) Singaraja, belum
lama ini, yang dipanitiai oleh mahasiswa PPKn dengan mengundang pemateri
seperti Dr. Aqom (Dekan Filsafat UGM) dan Prof. Dr. Yudana (Rektor
Panshopia). Dalam seminar tersebut sempat terjadi perbincangan hangat dari
narasumber-narasumber itu terkait keberadaan Pancasila dalam menjaga
ketahanan nasional.
Dr. Aqom sebagai pemateri dari Yogjakarta menyampaikan bahwa
Universitas Gadjah Mada kedatangan 40 mahasiswa dari negara sakura
Jepang untuk meneliti Pancasila. Ini membuktikan betapa Pancasila
sebagai sebuah ideologi menjadi sorotan di mata Internasional karena
ideologi ini mampu menyatukan banyaknya perbedaan dalam NKRI.
Tak heran jika mahasiswa dari Jepang kaguma karena di Jepang sendiri
hanya ada 2 suku saja tetapi masih sering ada keributan secara internal
problem. Berbeda di Indonesia lebih dari 500 suku, berbeda agama pula,
tapu minim sekali terjadi gesekan konflik primordial. Maka ini yang
menjadi fokus rule model dalam pencapaian mahasiswa tersebut yang
nantinya menjadi bekal untuk masalah-masalah yang di terjadi di
negaranya di Jepang.
Dalam benak saya tentu bangga sekali kita punya Pancasila sebagai
ideologi dan sebaliknya sangat kecewa jika Pancasila hanya dimaknai
dengan menghafal ke-5 dasar silanya apalagi sampai tidak tahu apa itu
Pancasila. Yang lebih parah lagi bangsa kita termakan umpan provokasi
yang dilabeli suatu agama dengan menaruh kebencian terhadap Pancasila
yang dianggap sebuah agama baru yang kufur (kafir), bahkan tak jarang
banyak kalangan ekstrimis radikal mengancam ketahanan nasional dengan
mengatakan bahwa Pancasila adalah produk kaum liberalisme dan komunis.
Itu murni sebuah propaganda yang sasarannya masyarakat awam. Namun
bagi mereka yang mengetahui Pancasila hingga penghayatan dan penerapan
yang dianjurkan dalam butir-butir Pancasila, tidak akan mudah
terprovokasi karena Pancasila menjawab dengan kompleksitasnya mulai dari
tataran sprilitualitas religius sampai sosialnya.
Dan di Islam sendiri ada Hablum Minannas dan Hablum Minallah.
Pertanyaannya, dari sudut mana kaum ekstrimis radikal mengatakan
Pancasila tidak sesuai dengan ajaran Islam? Ini perlu perhatian khusus
bagi pemerintah agar fokus terhadap doktrin radikal yang menjangkit
sebagian bangsa Indonesia karena kalau dibiarkan begitu saja maka negari
ini diambang perpecahan.
Berbeda lagi dengan penyampaian dari Prof. Dr. Yudana M,Pd., rektor
Panshopia yang asli orang Baliage. Ia menuturkan pesan oleh-oleh dari
Bali tentang makna keberagaman dalam Pancasila dengan mencontohkan
interaksi sosial dalam keberagaman bingkai Pancasila “hanya di Bali
orang muslim sholat idul Fitri dan Idul adha yang jaga Pecalang dari
orang Hindu, Hanya di Bali Orang Hindu menyambut Nyepi yang menggotong
Ogoh-ogoh sebagian Orang Muslim“ katanya. Tentu hal ini mencerminkan jiwa dan sikap toleransi yang tinggi
sebagai suatu ajaran Pancasila dengn Bhiennika Tunggal Ika-nya. Yang
membuat haru adalah saat Prof. Dr. Yudana M,Pd juga menyampaikan dengan
penuturan gambaran toleransi di Bali dengan mengatakan:
“Wahai sodaraku umat Muslim Sholatlah dengan Khusu’ dan Khidmat, biar di luar kami (pecalang) yang menjagamu dari gangguan Syaiton yang terkutuk”
Dalam hati ini bergetar mendengar ilustrasi yang disampaikan oleh
Prof. Yudana. Betapa Bali sebagai miniatur keberagaman yang ideal,
antara agama satu dan agama yang lain saling rangkul bahu membahu. Jika
dimaknai arti kehadiran Pancasila itu sendiri maka yang akan terjadi
adalah kedamaian dan ketentraman seperti yang Prof. Dr. Yudana sampaikan
melalui penuturannya.
Pancasila hari ini hanya dimaknai kulitnya saja, tidak pada isi dan
maknanya. Tentu ini bukan sekedar beropini bagaimana bangsa kita sudah
kehilangan rantai sejarah dan dibumbui sedikit berpikir liberal, seperti
yang dikatakan oleh ketua KAHMI Provinsi Bali, Kanda Suwardi Rasyid “Tidak perlu pertumbahan darah untuk menjajah suatu negara, cukup putus rantai sejarahnya dan biarkan berpikir liberal”
Anak-anak bangsa di daerah pedalaman perbatasan Malaysia-Indonesia di
Kalimantan mereka lebih mengetahui lagu wajib negara Malaysia daripada
lagu wajib nasional Indonesia. Logikanya bagaimana mereka mengenali
Pancasila secara komprehensif dan kompleks jika lagu kebangsaannya saja
tidak tahu. Di sisi lain saat saya melakukan PPL Real di salah satu SMP di
Kabupaten Buleleng kebanyakan dari siswa hanya mengetahui Pancasila
sebatas hafal dan tahu. Tentu ini bukan cita-cita yang diinginkan oleh
visi yang diamanatkan oleh bapak-bapak kita terdahulu. Maka kenali
Pancasila, hayati, maknai dan terapkan dalam kehidupan bernegara dengan
demikian Negara Kesatuan Republik Indonesia akan menjadi negara yang
maju pesat secara kebangsaannnya, dan konflik primordial semakin
berkurang.
Untuk menuju hal tersebut tentunya diawali dari diri sendiri dan
sentuhan pemerintahan yang punya wewenang untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa melaui pendidikan secara menyeluruh seperti yang telah
diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945.
Posting Komentar