Istilah generasi micin kini populer, sebutan ini sering digunakan orang ketika melihat ada orang yang
perbuatannya tidak sesuai dengan umurnya, misalnya anak-anak di bawah
umur yang merokok, bersepeda motor, berpacaran, hingga perbuatan
tercela, bahkan lebih gawat semacam tindak kriminal. Generasi micin banyak mendapat sorotan berupa cibiran hingga menjadi sesuatu yang booming.
Sampai-sampai penyanyi rapper asal Gorontalo Echo Show merilis lagunya
bulan November 2017 dengan judul “Kids Jaman Now”. Dalam lagu tersebut
sang penyanyi menyindir generasi bangsa Indonesia khususnya sebagai kaum
pelajar sudah keluar dari batas ajaran moral dan etika sesuai amanat
Pancasila.
Generasi micin tidak hanya untuk anak di bawah umur yang melakukan
tindakan di luar batas wajar, akan tetapi generasi micin juga dapat
dilabeli pada orang dewasa yang perbuatannya nakal, ucapan kasar,
kriminal, sering menghujat, dan sering berkata kotor kepada sesamanya.
Jika yang dilabeli generasi micin itu orang dewasa, maka yang patut
disalahkan bukan lagi orang tua akan tetapi nafsu dan cara berpikir yang
gagal dari orang tersebut. Yang menjadi pertanyaan kenapa harus micin? Kenapa bukan generasi bawang, generasi garam, atau generasi terasi? Mari kita sama-sama duduk diskusikan secara definisi. Dalam tulisan
Afif Aulia dalam kompas.id, ‘sosok’ micin dalam artian sebenarnya.
Micin (atau bahasa kerennya monosodium glutamat alias MSG) merupakan
senjata utama bagi kebanyakan pedagang kuliner. Micin adalah salah satu
aspek yang sangat penting. Namun na’asnya, micin memiliki self-concept yang rendah.
Mengapa demikian? Lihat saja dari harganya yang hanya dijual sekian
rupiah di pasaran sangat mudah didapatkan oleh masyarakat. Kehadiran
micin sendiri merupakan sesuatu sensasi untuk menguatkan cita rasa
masakan akan tetapi micin tidak memiliki rasa yang alami tetapi buatan.
Bahkan ada yang mengatakan jika digunakan dalam takaran banyak maka akan
menyebabkan penyakit kronis. Akhir-akhir ini di beberapa media sosial generasi micin ini sering
mendapat bullying, hujatan, dan ada juga yang menaruh rasa keprihatinan,
khususnya bagi generasi muda yang sedang mengalami degradasi moral dan
etika. Siswa SMA sudah konsumsi alkohol, merokok, dan melakukan free sex
seakan-seakan hal ini sudah tidak tabu lagi di jaman sekarang. Di berita koran juga sangat memperhatinkan saat anak remaja perempuan
umur 19 diperkosa 19 orang, 21 tahun diperkosa oleh 21 orang.
Mungkinkah ini sebuah kebetulan? Di media maya generasi micin sering
memamerkan foto mesranya menunjukkan bahwa dirinya memiliki kekasih
dengan menampakkan adegan/pose layaknya kisah hubungan orang dewasa
dalam berkasih. Dan yang mengundang tawa saat generasi micin yang kebanyakan
menjangkit remaja tanggung memposting video berdurasi pendek di media
hanya untuk memberitahu bahwa dirinya menangis, galau, sendu dan paling
parah ada yang sampai memposting luka akibat menyakiti dirinya sendiri,
penyebabnya kebanyakan karena putus dari sang kekasihnya.
Kenakalan remaja seperti yang diuraikan di atas hanya sebatas remaja
yang mencari sensasi dan berharap menjadi sorotan khalayak umum sama
halnya dengan micin. Hadirnya hanya untuk sensasi cita rasa masakan
dengan memberikan stimulus (asin, manis, masam) tetapi kendungan
nutrisinya rendah dan tak memiliki gizi. Jika realitas bicara, hal seperti ini bukan Generasi Bangsa Indonesia
yang tergolong generasi alpha lagi (generasi emas) seperti yang
dikatakan oleh peneliti dari Amerika itu tentang generasi X, Y, dan Z.
Peran lingkungan informal seperti lingkungan masyarakat, keluarga,
kerabat, sahabat, dan teman memiliki peran penting dalam membentuk
karakter seseorang apalagi orang tersebut masuk fase transisi anak-anak
menuju remaja. Banyak hal baru yang ingin dicoba dicari sensasinya. Selain itu peran lembaga formal seperti sekolah juga harus mampu
memberikan kontrol, selain juga kontrol di luar sekolah. Pendidikan
Pancasila dan Pendidikan Agama merupakan dua komponen penting dalam
menggembleng generasi micin dengan bantuan pendidik atau keluarga. Moral dan Etika serta pribadi yang cerdas banyak diajarkan oleh
Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Agama maka peran guru harus
benar-benar memberikan pengaruh dalam setiap perubahan mental generasi
micin dan terampuh adalah bagaimana kurikulum pendidikan mendukung hal
itu.
Posting Komentar