Sumber Gambar : Google
Sebagian
besar masyarakat indonesia mungkin sudah pernah mendengar istilah Materialisme. Ntah dalam hal mengetahui istilahnya
saja atau mungkin memahami secara mendalam tentang segala aspek hingga tetek bengek yang terkandung dalam paham
Materialisme. Dilingkup akademik misalnya, buku-buku yang dilabeli kiri makin
hari semakin digandrungi oleh
kalangan mahasiswa. Dampaknya, tentu
akan membuat mereka semakin mengenal tokoh-tokoh yang mempopulerkan dan
membahas secara gamblang tentang Materialisme pada tataran tukang ilmiah, dengan dibuktikan data-data kajian-kajian empiris.
Namun disisi lain ada juga yang menyaplirkan pemahaman materialisme, bahkan
sebagian dari mereka sangat anti dengan paham yang bernama Materialisme hingga
seakan-akan Materialisme itu bagian dari paham yang puncaknya adalah anti pada Tuhan (immaterial) karena Tuhan bukan
perihal yang bisa dimaterialkan dalam artian “Tuhan tidak Logis”, karena tidak nampak oleh panca atau penglihatan
yang masuk akal sehingga diragukan sebuah kebenarannya, maka masyarakat awam
menilai bahwa hal yang demikian bahaya untuk dipelajari, padahal belajar dengan
meyakini adalah dua suku kata yang sangat berbeda. Materialisme meyakini tentang suatu kebenaran jika kebenaranl
tersebut nampak atau bisa direalitaskan secara kasat mata atau dapat dirasakan
oleh panca indera. Disini yang menjadi duduk perkara untuk didiskusikan
bersama-sama baik secara subjektif penulis ataupun sumbangsih pendapat dari pembacanya
agar tetap hidup khazanah berpikir sebagai mahluk yang berbeda dengan mahluk
yang lainnya.
Secara
harfiah kata materialisme berasal dari kata “Materi” dan “isme”.
Feurbach dan Epicorus memahami Materi
sebagai “Benda” atau segala sesuatu yang tampak. “Isme” penekananya
lebih pada pengusung paham atau pandangan. Secara umum Materialisme merupakan
pandangan hidup yang mencari dasar segala sesuatu yang mengatasi alam indera
(kenyataan) dengan mengesampingkan sesuatu diluar alam indera (tidak nyata).
Jadi jika dibenturkan dengan Tuhan, setan, surga, neraka, dan mengenai Takdir yang akan kita banyak urai dalam tulisan ini, tentunya
para tokoh materialis belum bisa menyakini tentang suatu kebenarannya, jika
suatu kebenaran tersebut tidak nampak oleh mata atau bersifat immateri (tidak
beruwujud) dari beberapa hal yang sudah disebutkan tadi. Disini letak
permasalahan, sehingga sebagian awam menjadi anomali terhadap materialisme.
Ntah ketakutan yang bermacam-macam dari berbagai miringnya tafsir tentang
Materialisme. Bisa jadi, sebagian awam takut akan Materialisme karena mendekati
kata Matre kali ya, istilah kekinian
karena penekanannya adalah Benda, atau ada juga yang menafsirkan Materilisme itu
“Hedon” orang yang takut sakit atau
susah namun selalu ingin merasakan bahagia. Alhasil materialisme menjadi makna
yang bias keluar dari definisi sang konsep
gagasan Epicorus sebagai filsuf pertama yang mencetuskan paham materialisme
pada masa abad Yunani kuno, lebih vulgar
lagi Materialisme jika dikaitkan dengan paham Komunis, jika dibenturkan dengan
kultur masyarakat Indonesia dengan segelumit perjalanan sejarahnya tentu akan
mendapat cemohan habis-habisan dari masyarakat Indonesia, apalagi bangsa
Indonesia punya sejarah kurang harmonis dengan hal-hal yang berbau Komunisme
pada tahun 1965.
Beberapa
hari lalu penulis sempat berdiskusi disebuah angkringan kopi dengan seorang
redaktur media ternama di Bali, tema yang diangkat secara subjektif sungguh
menarik, tentang bagaimana sih, pemikir Materialisme berbicara mengenai sebuah
takdir dalam kehidupan manusia. Secara pemilahan objek pemikir Materialis,
tentunya takdir merupakan kebenaran yang secara kenyataan belum dapat diketahui
bentuk dan fisiknya secara materil (nyata) dalam artian kebenarannya dapat mengisi
ruang dan waktu dalam suatu kesatuan realitas fisik. Jika dilarikan kedalam kajian
suatu agama secara umum tentu takdir merupakan suatu kebenaran yang dapat
dikatakan kebenaran mutlaq yang pasti
datang menghampiri perjalanan hidup manusia dan itu pasti terjadi. Quraish
Shibab dalam celotehnya juga pernah menyampaikan dengan jelas bahwa semua umat muslim, percaya akan takdir,
dalam sudut al-Quran pun Takdir berasal dari kata Qadr “kadar” atau “ukuran” dan
“batas”. “Dia menciptakan segala sesuatu, lalu dia menetapkan atas takdirnya
(ketetapan) yang sempurna-sempurnanya (Qs 25 : 2)” bahkan rumput hijaupun
akan terbakar jika sudah kehendak takdir-Nya. Namun para pemikir materialisme
belum dapat bisa menerima tentang kebenaran yang disampaikan dalam keterangan
ini dan bahkan mereka akan saling lempar argumentasi tentang logika berpikirnya.
Para pemikir materialisme akan mencari kebenaran yang lebih bertitik tumpu pada
kajian ilmu pengetahuan bukan keyakinan tanpa melihat wujud atau fisiknya
(keyakinan). Tentu dalam hal ini para para pemikir materialisme akan cenderung melogikakan
tentang perkara takdir tersebut, namun perlu digaris bawahi bukan menyalahkan,
tapi lebih pada satu rujukan melihat pada suatu kebenaran. Sepertinya jika
dikaitkan antara Materialisme dengan filsafat positivisme milik August Comte
tentunya sangat nyambung.
Pengusung
paham Materialisme, biasanya melihat suatu kebenaran melui hal-hal yang berupa
logika, analogi, contoh, dalam bentuk wujud (nyata). Berbeda dengan para
pengusung paham idealism yang melihat suatu kebenaran bisa melalui
keterangan-keterangan (semisal melalui ayat-ayat suci), perantara akal, dan
data-data kajian. Lebih ilmiah lagi jika melihat sisi cara pendekatan pengusung
paham materialis, biasanya melalui pendekatan kebenaran korespondensi “Benar apabila sesuai dengan kenyataan” semisal
karena rem blong, seorang pengendara sepeda motor mengalami kecelakaan yang
berujung pada kematiannya. Jika dilarikan pada hal takdir, tentu sebagian
orang meyakini dan menjadi ketetapan bahwa kematian orang tersebut dengan cara
mengalami kecelakaan merupakan takdir dari pencipta-Nya. semua orang yang
mengenal agama dan pengusung paham idealism pun meyakini dan menerima hal
tersebut. Namun bagi pengusung paham Materialism, tidak akan membenarkan bahwa
inseden tersebut merupakan ketetapan takdir dari sang pencipta melainkan pera
pengusung Materialism lebih melihat pada daya analisis “ Kecelakaan yang menimpa orang tersebut disebabkan karena remnya yang
blong, selain remnya blong ternyata jalannya penuh lubang sehingga menyebabkan
kecelakaan yang berujung kematian” dan hal ini nyata setelah ditelusuri
kebenarannya tanpa ada sangkut pautnya dengan takdir atau ketetapan sang
pencipta. Semua hal di bumi pasti bisa dianalisa sebab akibatnya dengan
memisahkan nilai-nilai yang sifatnya berkaitan dengan hal yang tidak nampak.
Analogi
selanjutnya semisal “karena tidak
diikat dengan baik, seorang kakek kehilangan seekor kambing” jika dilarikan
pada takdir, tentu ada benarnya bahwa sudah takdirnya kakek tersebut kehilangan
kambingnya. Namun pengusung paham Materialism tidak membenarkan hal tersebut.
Pasti tumpuan kebenarannya ia akan fokus pada kambing yang tidak diikat dan
masuk akal jika hilang, jika kakek mengikat dengan baik tentu tidak akan
terjadi kambing yang hilang, jadi tidak ada sangkut pautnya dengan takdir akan
tetapi si kakek yang lalai sebagai penyebabnya. Jadi dapat kita garis bawahi,
bahwa pengusung paham Materialis mengedepankan kebenaran materil daripada
immateril sebagai rujukan melihat suatu kebenaran yang sebenarnya.
إرسال تعليق