merawatingat

Buku Karya Saras Dewi "Kekasih Teluk"

    Siapa yang tak kenal L.G Saraswati Puteri atau umum dikenal Saras Dewi sosok penyanyi sekaligus Dosen Filsafat di Universitas Indonesia. Tak hanya cantik dengan wajah periangnya namun kualitas wawasan, cara pandang intelektualnya juga begitu menarik untuk kita jadikan teladan sebagai mahluk yang mencintai ilmu pengetahuan. beberapa gagasannya sudah tertuang dalam sebuah karya-karya besarnya seperti karya Sastra kumpulan Puisi Jiwa Putih, buku berikutnya merupakan karya non-fiksi dengan judul Hak Asazi Manusia sedangkan buku selanjutnya ialah Bukan Cokelat dan tahun 2015 lalu kembali mbak saras sapaan hangatnya menerbitkan kembali sebuah karya buku berjudul Ekofenomenelogi serta puisi-puisinya yang tertuang dalam Kekasih Teluk. Jadi tak rugi jika kita khususnya sebagai insan akademis yang katanya agent of Change agar cuap-cuap bertukar pikiran dengan aktivis sekaligus penulis aktif seperti mbak saras dewi.

    Dalam sebuah lingkar diskusi bertemakan Bincang Seru Puisi dan Filsafat bertepatan di rumah belajar komunitas Mahima, mbak Saras berbagi sebuah gagasan dari kemewahan idealismenya khususnya menyoroti keadaan lingkungan hidup saat ini yang mulai amburadul dengan membedah buku kumpulan puisinya tentang Kekasih teluk. 

    Jika saya kutip dalam tulisan Wulan Dewi Saraswati (menyelami doa puisi-puisi Saras Dewi "kekasih teluk") mengatakan bahwa "puisi yang mengungkapkan kekecewaan dan harapan melalui dialog-dialog alam yang menjadi warna dan menghiasi kumpulan puisi kekasih teluk, karya tersebut sebagai bentuk perlawanan dan kekecewaan terhadap manusia yang mulai merusak dan tidak menghargai alam. Maka lewat puisi tersebut seakan-akan kita berdoa dan mengeluh. Kita sepakati, bahwa alam punya pengaruh dalam kehidupan mahluk yang ada di Bumi baik bagi Binatang Tumbuhan terlebih pada manusia itu sendiri, seperti yang saya kutip dari bahasa filsuf ternama macam Aristoteles dalam tulisan Jostin Gardier "Bintang-bintang punya pengaruh terhadap kehidupan manusia?" dan juga "Manusia dibentuk oleh empat unsur : Tanah, Air, Api, dan Udara" jika dikaitkan dengan pernyataan ini tentu ia percaya bahwa alam memiliki penggerak utama yang menyebabkan pergerakan dan itu ada di luar alam semesta. 

Kumpulan Puisi Kekasih teluk merupakan sebuah penyampaian protes agar kita sesegera mungkin menyadarkan diri betapa pentingnya peran serta pengaruh alam bagi kehidupan manusia dan mahluk lainnya karena Semua mempunyai simbolis perasa bagaimana alam memberikan sebuah tempat yang nyaman jika diperlakukan dengan baik bah seorang kekasih yang kita cintai. Manusia dewasa ini sering mengabaikan tentang keberadaan alam itu sendiri, kita lihat bagaimana reklamasi masih menjadi problem yang harus kita suarakan untuk kelestarian menjaga keharmonisan anatara alam dan manusia. Pernah mbak saras dewi berdialog dengan salah satu nelayan di teluk benoa bahwa seberapa pentingnya menjadi seorang nelayan dan arti keberadaan Teluk yang akan direklamasi karena sering mengalami pasang surut hingga tidak membawa sebuah manfaat bagi sekitar atau bahkan tak punya nilai ekonomis yang menguntungkan, namun disisi lain hati kecil seorang nelayan mengatakan bahwa "pekerjaan nelayan bukan sekedar profesi yang hanya untuk mengenyangkan perut keluarganya namun profesi tersebut merupakan peninggalan leluhur untuk tetap menjaga dan melestarikan pada alam itu sendiri, karena alam mampu memberikan kehidupan pada manusia dan mahluk lainnya". 

    Jika para pemegang wewenang mengatakan dengan alibi bahwa kebijakan reklamasi harus dilakukan karena terlalu sering mengalami pasang-surut air laut maka kalimat Feed Back yang paling tepat adalah "Pasang-surut ibaratkan kita menarik udara dan menghembuskan udara dalam pernapasan yang menyehatkan badan itu sendiri sama halnya dengan pasang-surut pada teluk hal itu untuk menyehatkan alam itu sendiri apalagi jika benoa itu direklamasi disana masih ada bangau! Bagaimana nasibnya?".Orang bali mengenal trihita karana, dan semoga tidak hanya berupa sebuah kajian filosofis semata namun tindakan nyata mencintai alam dan tidak hanya sebatas bentuk simbolis yang tertera di spanduk-spanduk jalan raya namun perlakukan alam seperti ibu bagi kita. Seperti kutipan puisi mbak saras dewi dalam kekasih teluk.

Aku tidak mau manusia menang

Dalam perkelahian tidak seimbang dengan alam

Sebab bila mereka menang

Berarti mereka telah kalah

Karena sejatinya mereka seperti membunuh

Ibunya sendiri

    Sehebat apapun, Secerdas apapun, manusia mampu mengalahkan alam dengan merusak dan menyakitiya, tetap ia akan membawa dampak kerugian akan dirinya sendiri karena alam adalah nikmat dari Tuhan yang seakan-seakan kita dustai keberadaannya kualatlah kita dan musibah-musibah dari perlakuan alam akan segera tiba, layaknya carita malin kundang yang dikutuk ibu kandungnya karena sifat durhakanya.

Kasihan Petani, Petani Itu keren

    Dalam sebuah lingkar diskusi apapun, banyak diantara kaum intelektual tak luput membahas soal keberadaan petani dan manfaatnya bagi sebuah negara. Hari ini kita sering mendengar di berita-berita televisi ataupun media yang tersaji dalam bentuk tulisan yang dimuat di koran, majalah, dan lain-lain bahwa Indonesia Mengimpor beras dari negara Thailand pada februari 2017 melebihi impor tertinggi negara Pakistan, sungguh hal tersebut seperti banyolan ngelantur alias ngawur yang tak mungkin jika kita melihat kondisi alam indonesia begitu agraris. Sejak kecil duduk memakai seragam TK hingga di bangku kuliah tidak pernah mendengar diantara teman-teman kita bercita-cita ingin menjadi petani? Apa yang menyebabkan hal ini bisa terjadi ? mungkin saja kita selama ini menganggap bahwa Petani merupakan sebuah pekerjaan yang menjijikakkan berpanas-panasan, berlumuran lumpur di sawah hingga timbul pikiran apa yang dapat kita harapkan sebagai seorang petani untuk hidup di masa depan. Namun  jika dilihat dari jasa para petani tentulah memiliki peran yang besar dalam mensejahterahkan masyarakat khususnya di Indonesia sendiri.

    Imam an-nawawi menambahkan bahwa pekerjaan seperti petani diposisikan terhormat karena memberikan menfaat yang sangat banyak bagi mahluk hidup lainnya. Pendapat ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Al-Wishaby yang menegaskan bertani adalah Fardhu kifayah. Kewajiban tersebut gugur jika telah dilaksanakan oleh sekelompok orang, bila tak ada satupun pihak yang melaksanakan tuntutan ini, sanksi dosa akan ditujukan pada setiap orang. Dari beberapa pendapat ini tentu menang merah yang dapat kita tarik ialah tentang faedah bertani tidak hanya sebatas untuk diri sendiri namun juga manusia lainnya, maka disinilah mulianya seorang petani. 

    Namun jauh panggang dari api untuk generasi kita hari ini yang tak mampu menyentuh ranah itu untuk visi hidup di masa depan dengan bergelut memajukan dunia pertanian, jika kita lihat dewasa ini petani kita di Indonesia sudah banyak yang masuk pada kategori lanjut usia, mereka masuk pada kisaran rata-rata umur menginjak 45 tahun keatas, jarang kita temui pemuda dan pemudi yang mengelolah lahan pertanian untuk setidaknya membantu menjadi penyengat untuk semangat bertani di Indonesia, jika dikomparasikan dengan negara-negara maju seperti Korea Utara, China, Thailand dan negara-negara maju lainnya mereka sejak dini generasi mudanya sudah diperkenalkan dengan citra seorang petani, maka tak heran jika kualitas sistem pertanian mereka diatas lebih maju dan baik daripada kita semisal penggunaan tekhnologi hingga dukungan dan support pemerintah melalui Subsidi petani bahkan petani mereka rata-rata adalah berusia muda dan produktif sehingga mampu memanfaatkan tekhnologi pertanian.

    Dewasa ini kebanyakan orang jadi seorang petani itu tidaklah keren, karena mereka tidak memakai dasi dan duduk bersila di atas kursi. Kadang kala menjadi anak yang orang tuanya berprofesi seorang petani bagi anak zaman sekarang sungguh memalukan. Mereka banyak yang berpura-pura menyembunyikan identitas kedua orang tuanya demi sebuah pengakuan dari teman-temannya. Ya, terkadang anak sekarang hanya bermimpi sesuatu yang tidak ada manfaatnya bagi masa depannya. Bukan berarti cita-cita kita itu tidak baik, namun selaku anak kita harus bisa menerima apa yang orang tua kerjakan. Seharusnya, kedua orang tua kita dijadikan sebuah pemicu semangat untuk bisa sukses , kalau perlu kita buang ideologi mereka yang menganggap kalau jadi petani itu tidak keren. Padahal para petani tidak hanya memikirkan nasib anak dan istri namun mereka juga memikirkan kapan harga padi atau sayuran yang di tanam akan bisa naik lagi. Mindset berpikir harus dirubah dan jangan pernah menganggap sepele, peran pemerintah memang harus segera terlihat dan terlibat karena bagaimanapun negara maju masih ditentukan oleh keberadaan petani yang produktif untuk ketahanan pangan ataupun kesejahteraan masyarakat Indonesia bukankah hak semacam jadi petani yang berlumuran lumpur itu keren jika dilihat dari jasanya yang sistemik atau menyeluruh, peran pemerintah dalam hal ini juga harus sungguh-sungguh memperdayakan petani, semisal dalam hal penanaman citra petani dikalangan pelajar harus ditekankan dari sekarang semisal memasukkan nilai-nilai bertani dalam sebuah kurikulum pendidikan atau mewajibkan program wajib bertani dan subsidi petani harus lebih serius lagi, demi pertumbuhan dan kesejahteraan demi masa depan bangsa ini.

*Tulisan ini pernah dimuat oleh media tatkala.co dan juga kompasiana.com

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama