30 نوفمبر 2019

Tari Kecak: Merawat Budaya Lokal, Merawat Jati Diri Bangsa

Sumber Gambar: Pinterest/Google Image

    Menyoal tentang seni, Indonesia punya dua daerah yang meiliki iklim berkesenian sangat tinggi yakni Bali dan Yogjakarta. Meski daerah-daerah lain di Nusantara juga memiliki ciri khas kesenian yang juga tak kalah indahnya, namun banyak yang setuju jika dua daerah itu, Bali dan Yogyakarta, menjadi tempat singgah para seniman.

    Maka dari itu, berbangga dan bersyukurlah masyarakat Bali, terutama generasi penerus bangsa di Bali harus pandai-pandai melestarikan budaya leluhurnya. Dalam pengalaman penulis 3,5  tahun menempuh pendidikan di Bali, salah satu kesenian yang membuat saya tertarik dan kepincut bahkan jatuh cinta adalah pertunjukan Tari Kecak.

    Apa sih itu Tari Kecak?  Orang Bali pasti tahu tentang Tari Kecak, baik pengertian, makna hingga sejarahnya. Namun apakah bangsa Indonesia tahu kesenian nasionalnya yang berada di Bali?  Banyak yang tahu Tari Kecak sekadar mendengar atau menyaksikan dari tayangan media.

    Apa sih istimewanya Tari Kecak sehingga perlu kita jaga dan dilestarikan? Tari Kecak merupakan salah satu jenis kesenian tradisional dari Bali yang diciptakan pada kisaran tahun 1930 oleh seorang penari sekaligus seniman dari Bali yakni Wayan Limbak.

    Sebagai seorang seniman tentu saja Wayan Limbak sangat akrab dengan para seniman lain, sebut saja Walter Spies yang merupakan seorang pelukis dari negara Jerman, merupakan salah satu teman akrab Wayan Limbak. Kedua sahabat inilah yang menjadi pencetus Tari Kecak yang sangat terkenal hingga saat ini bahkan sampai ke dunia Internasional.

    Pementasan dan pertunjukan tari tradisional dari Bali ini dapat dengan mudah kita saksikan di beberapa wilayah seperti Uluwatu, areal Garuda Wisnu Kencana, Ubud, dan Gianyari. Ekspresi para penari nan memukau membuat para penonton tercengang akan penampilan mereka. Di lain sisi musik pengiring hampir tidak ada, hanya suara dan lantunan kata-kata yang berbunyi “cak-cak-cak-cak” terdengar dalam mengiringi gerakan tarian. Jika kita dapat menyaksikan Tari Kecak dari awal hingga akhir, maka kita akan memahami mengenai alur cerita yang disajikan dari gerakan-gerakan pementasan oleh para penari.Antusias masyarakat Bali akan keberlangsungan dan kelestarian kesenian tradisional membuat banyak orang belajar dan tertarik untuk melakukan tarian yang diciptakan oleh Wayan Limbak ini.

    Tak heran jika hampir semua pemuda Bali khususnya para laki-laki mampu melakukan gerakan tarian ini dengan cara duduk melingkar. Para penari mengenakan pakaian khas bercorak kotak-kotak hitam putih mirip dengan papan catur (kain poleng). Dari tahun 1970 Tari Kecak terus mengalami peningkatan, bahkan pemerintah daerah setempat menjadikan tari ini sebagai icon budaya masyarakat Bali. Jumlah penari pun tak terbatas kadangkala dilakukan oleh puluhan orang atau bahkan lebih hingga ratusan sehingga pementasannya sangat menarik dan memiliki karakter kesenian Bali itu sendiri.

    Pada tahun 70-an Wayan Limbak bekerja keras guna mempromosikan dan mengenalkan tari kecak hingga ke mancanegara. Selain mengenalkan keunikan dalam pementasan tarian ini tentu saja daerah asal kesenian ini ikut melambung di dunia Internasional yang kemudian menarik para wisatawan mancanegara untuk berkunjung ke daerah asalnya.

    Tari Kecak tentu bukan hanya sekedar tarian biasa, seni tari yang satu ini memiliki cerita sejarah yang memiliki peristiwa yang harus selalu di ingat oleh generasi muda hari ini, pertunjukan sebenarnya mengisahkan sebuah cerita Ramayana yakni pada peristiwa Dewi Shinta diculik oleh Rahwana. Hingga akhir pertunjukan biasanya tari ini menyajikan kisah pembebasan Dewi Sintha dari tangan Rahwana.
Guna mendukung cerita yang disajikan maka dalam pertunjukan tari tradisional Bali juga harus terdapat beberapa tokoh yang memerankan peran utama sebagai Hanoman, Sugriwa, Dewi Shinta, Rhama, dan Rahwana. Jadi saat pementasan tari ada Dramanya juga sehingga membuat penonton semakin tertarik menyaksikannya. Pada dasarnya dalam tarian yang berawal dari upacara Sanghyang ini juga tersirat dari awal hingga akhir pertunjukan. Cerita pewayangan yang di angkat dalam sebuah gerakan tari merupakan inovasi baru dalam usaha melestarikan kebudayaan Hindu khususnya dalam kisah Ramayana.

Melestarikan Tari Kecak di Kalangan Generasi Penerus Bali

    Globalisasi adalah kata paling mengancam dengan virus Westernisasinya terhadap kebudayaan Tradisional dibelahan negara manapun. Banyak budaya-budaya tradisional yang ditinggalkan tergantikan dengan budaya westernisasi yang datang dari budaya kebarat-baratan. Seperti busana berpakaian, makanan, stil rambut bahkan moral dan nilai dalam sebuah pribadi ber-sosial. Globalisasi tentu tidak bisa kita tolak ataupun kita terima sepenuhnya, karena globalisasi memiliki dampak negatif maupun Positif yang perlu kita lakukan sebagai generasi penerus ialah berada diposisi moderat dan pandai-pandai memfiltrasi setiap budaya asing yang masuk dari hadirnya globalisasi, yang kita perlu dilakukan ialah menjadi generasi yang berpindidikan dan berkarakter sesuai jati diri dan amanat nasionalisme yang dianut berlandaskan local genius.

    Globalisasi tidak dapat dihindari demi mempertahankan suatu budaya leluhur  justru dengan hal itu (tertutup) budaya itu sendiri akan menjadi sesuatu yang kolot karena budaya memiliki sifat dinamis dan harus dikembangkan tanpa mengurangi karakteristik budaya itu sendiri. Tentu generasi penerus Bali jangan sampai terjangkit dampak negatif dari adanya arus globalisasi dengan include degradasi budaya local yang dilestarikan dari masa ke masa oleh leluhur sampai hari ini, namun yang terjadi hari ini Tari Kecak yang tidak lebih populer dari K-Pop Korea ataupun boyband dan girlband. Jika hal itu terjadi maka generasi kita ke depannya tidak akan memiliki kebudayaan yang menjadi suatu identitas, apalagi tari kecak memiliki nilai religiusitas dan kesakralan yang teramat tinggi khususnya bagi umat hindu yang menjadi mayoritas agama terbesar di Bali. Jangan sampai ada cerita pengklaiman budaya seperti yang terjadi beberapa tahun yang lalu saat Tari Pendet diakui oleh negara tetangga. Tentu peristiwa seperti ini tidak bisa kita untuk saling menyalahkan baik cemohan/hujatan yang dilontarkan terhadap negara tetangga ataupun bangsa kita sendiri. Yang jelas kenyataannya kita gagal mengintrospeksi diri dan lupa akan budaya kita justru lebih tertarik mendalami budaya yang datang dari luar sehingga lupa diri dan ciri khas, maka disini pentingnya kita belajar budaya di jenjang pendidikan dari mulai tingkat paling rendah hingga paling tinggi.

    Di mata kancah nasional ataupun internasional Bali seperti surga dunia dengan segala kemolekannya, maka yang perlu dilakukan oleh generasi penerus di Bali untuk meneruskan citra Bali itu sendiri ialah dengan merawat ingatnya akan leluhur, budaya dan apa yang menjadi ciri khas kearifan localnya. Tentu hal semacam ini harus disertai dengan action nyata bahwa benar-benar kitalah sebagai generasi penerus yang sangat menjunjung tinggi budaya leluhur seperti Tari Kecak yang sudah bertahan dan dilestariakan berpiluh-puluh tahun oleh leluhur dan orang tua kita. Perlu kita catat menjadi suatu bangsa apalagi sebagai penyandang status generasi penerus bangsa, bahwa generasi yang gagal dalam suatu negara adalah generasi yang lupa sejarah dan budaya hingga lupa jati diri bangsanya sendiri. 

التسميات:

Pancasila, Keberagaman dan Toleransi – Catatan Usai Seminar di Undiksha

Sumber Gambar: Ilustrasi dari Pengadilan Agama Surakarta


“Hanya di Bali orang muslim sholat idul Fitri dan Idul Adha yang jaga pecalang dari orang Hindu. Hanya di Bali orang Hindu menyambut Nyepi, yang menggotong ogoh-ogoh sebagian orang Muslim“ – Prof. Dr. Yudana

    AKHIR-AKHIR ini negara Indonesia sering mengalami carut marut dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, terlihat dari kondisi masyarakat Indonesia yang sering mengalami semisal konflik primordial atau konflik horizontal di beberapa daerah. Sehingga bukan tidak mungkin, jika konflik semacam ini tidak menemukan solusi tepat, maka sudah pasti NKRI di ambang perpecahan.

    Beberapa konflik agama, golongan, kesukuan bahkan merembet pada bentrok antar generasi penerus bangsa di tingkat pelajar merupakan suatu bukti bahwa bangsa kita sudah lupa akan keberadaan Pancasila yang secara pengertian dasar yakni “Pancasila sebagai Dasar Negara, Pancasila Sebagai Pandangan Hidup, Pancasila sebagai Filsafat bangsa dan Pancasila sebagai Modus (siasat)” Pandangan ini tertulis dalam buku karangan Prof. Dr. Ketut Ridjin, Pendidikan Pancasila.

    Saat era Orde Baru tentu Pancasila cukup ditekankan dengan pemahaman P4 bahkan butir-butir dalam Pancasila di tingkat sekolah, pelajar wajib tahu dan memahaminya, tentu tidak hanya sekedar dihafalkan saja tetapi bagaimana kita menghayati dan mengaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari sehingga menjadi bangsa yang sesuai dengan cita-cita Pancasila yaitu masyarakat yang Pancasilais.

   Tentang Pancasila ini sempat terdengar saat saya mengikuti seminar nasional di Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) Singaraja, belum lama ini, yang dipanitiai oleh mahasiswa PPKn dengan mengundang pemateri seperti Dr. Aqom (Dekan Filsafat UGM) dan Prof. Dr. Yudana (Rektor Panshopia). Dalam seminar tersebut sempat terjadi perbincangan hangat dari  narasumber-narasumber itu terkait keberadaan Pancasila dalam menjaga ketahanan nasional.

    Dr. Aqom sebagai pemateri dari Yogjakarta menyampaikan bahwa Universitas Gadjah Mada kedatangan 40 mahasiswa dari negara sakura Jepang untuk meneliti Pancasila. Ini membuktikan betapa Pancasila sebagai sebuah ideologi menjadi sorotan di mata Internasional karena ideologi ini mampu menyatukan banyaknya perbedaan dalam NKRI.

    Tak heran jika mahasiswa dari Jepang kaguma karena di Jepang sendiri hanya ada 2 suku saja tetapi masih sering ada keributan secara internal problem. Berbeda di Indonesia lebih dari 500 suku, berbeda agama pula, tapu minim sekali terjadi gesekan konflik primordial. Maka ini yang menjadi fokus rule model dalam pencapaian mahasiswa tersebut yang nantinya menjadi bekal untuk masalah-masalah yang di terjadi di negaranya di Jepang.

    Dalam benak saya tentu bangga sekali kita punya Pancasila sebagai ideologi dan sebaliknya sangat kecewa jika Pancasila hanya dimaknai dengan menghafal ke-5 dasar silanya apalagi sampai tidak tahu apa itu Pancasila. Yang lebih parah lagi bangsa kita termakan umpan provokasi yang dilabeli suatu agama dengan menaruh kebencian terhadap Pancasila yang dianggap sebuah agama baru yang kufur (kafir), bahkan tak jarang banyak kalangan ekstrimis radikal mengancam ketahanan nasional dengan mengatakan bahwa Pancasila adalah produk kaum liberalisme dan komunis.

   Itu murni sebuah propaganda yang sasarannya masyarakat awam. Namun bagi mereka yang mengetahui Pancasila hingga penghayatan dan penerapan yang dianjurkan dalam butir-butir Pancasila, tidak akan mudah terprovokasi karena Pancasila menjawab dengan kompleksitasnya mulai dari tataran sprilitualitas religius sampai sosialnya.

    Dan di Islam sendiri ada Hablum Minannas dan Hablum Minallah. Pertanyaannya, dari sudut mana kaum ekstrimis radikal mengatakan Pancasila tidak sesuai dengan ajaran Islam? Ini perlu perhatian khusus bagi pemerintah agar fokus terhadap doktrin radikal yang menjangkit sebagian bangsa Indonesia karena kalau dibiarkan begitu saja maka negari ini diambang perpecahan.

    Berbeda lagi dengan penyampaian dari Prof. Dr. Yudana M,Pd., rektor Panshopia yang asli orang Baliage. Ia menuturkan pesan oleh-oleh dari Bali tentang makna keberagaman dalam Pancasila dengan mencontohkan interaksi sosial dalam keberagaman bingkai Pancasila “hanya di Bali orang muslim sholat idul Fitri dan Idul adha yang jaga Pecalang dari orang Hindu, Hanya di Bali Orang Hindu menyambut Nyepi yang menggotong Ogoh-ogoh sebagian Orang Muslim“ katanya. Tentu hal ini mencerminkan jiwa dan sikap toleransi yang tinggi sebagai suatu ajaran Pancasila dengn Bhiennika Tunggal Ika-nya. Yang membuat haru adalah saat Prof. Dr. Yudana M,Pd juga menyampaikan dengan penuturan gambaran toleransi di Bali dengan mengatakan:

 “Wahai sodaraku umat Muslim Sholatlah dengan Khusu’ dan Khidmat, biar di luar kami (pecalang) yang menjagamu dari gangguan Syaiton yang terkutuk”

   Dalam hati ini bergetar mendengar ilustrasi yang disampaikan oleh Prof. Yudana. Betapa Bali sebagai miniatur keberagaman yang ideal, antara agama satu dan agama yang lain saling rangkul bahu membahu. Jika dimaknai arti kehadiran Pancasila itu sendiri maka yang akan terjadi adalah kedamaian dan ketentraman seperti yang Prof. Dr. Yudana sampaikan melalui penuturannya.

   Pancasila hari ini hanya dimaknai kulitnya saja, tidak pada isi dan maknanya. Tentu ini bukan sekedar  beropini bagaimana bangsa kita sudah kehilangan rantai sejarah dan dibumbui sedikit berpikir liberal, seperti yang dikatakan oleh ketua KAHMI Provinsi Bali, Kanda Suwardi Rasyid “Tidak perlu pertumbahan darah untuk menjajah suatu negara, cukup putus rantai sejarahnya dan biarkan berpikir liberal”

    Anak-anak bangsa di daerah pedalaman perbatasan Malaysia-Indonesia di Kalimantan mereka lebih mengetahui lagu wajib negara Malaysia daripada lagu wajib nasional Indonesia. Logikanya bagaimana mereka mengenali Pancasila secara komprehensif dan kompleks jika lagu kebangsaannya saja tidak tahu. Di sisi lain saat saya melakukan PPL Real di salah satu SMP di Kabupaten Buleleng kebanyakan dari siswa hanya mengetahui Pancasila sebatas hafal dan tahu. Tentu ini bukan cita-cita yang diinginkan oleh visi yang diamanatkan oleh bapak-bapak kita terdahulu. Maka kenali Pancasila, hayati, maknai dan terapkan dalam kehidupan bernegara dengan demikian Negara Kesatuan Republik Indonesia akan menjadi negara yang maju pesat secara kebangsaannnya, dan konflik primordial semakin berkurang.
Untuk menuju hal tersebut tentunya diawali dari diri sendiri dan sentuhan pemerintahan yang punya wewenang untuk mencerdaskan kehidupan bangsa melaui pendidikan secara menyeluruh seperti yang telah diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945. 

التسميات:

Generasi Micin: Kontrol atau Bully ?




    Istilah generasi micin kini populer, sebutan ini sering digunakan orang ketika melihat ada orang yang perbuatannya tidak sesuai dengan umurnya, misalnya anak-anak di bawah umur yang merokok, bersepeda motor, berpacaran, hingga perbuatan tercela, bahkan lebih gawat semacam tindak kriminal. Generasi micin banyak mendapat sorotan berupa cibiran hingga menjadi sesuatu yang booming. Sampai-sampai penyanyi rapper asal Gorontalo Echo Show merilis lagunya bulan November 2017 dengan judul “Kids Jaman Now”. Dalam lagu tersebut sang penyanyi menyindir generasi bangsa Indonesia khususnya sebagai kaum pelajar sudah keluar dari batas ajaran moral dan etika sesuai amanat Pancasila.

    Generasi micin tidak hanya untuk anak di bawah umur yang melakukan tindakan di luar batas wajar, akan tetapi generasi micin juga dapat dilabeli pada orang dewasa yang perbuatannya nakal, ucapan kasar, kriminal, sering menghujat, dan sering berkata kotor kepada sesamanya. Jika yang dilabeli generasi micin itu orang dewasa, maka yang patut disalahkan bukan lagi orang tua akan tetapi nafsu dan cara berpikir yang gagal dari orang tersebut. Yang menjadi pertanyaan kenapa harus micin? Kenapa bukan generasi bawang, generasi garam, atau generasi terasi? Mari kita sama-sama duduk diskusikan secara definisi. Dalam tulisan Afif Aulia dalam kompas.id,  ‘sosok’ micin dalam artian sebenarnya. Micin (atau bahasa kerennya monosodium glutamat alias MSG) merupakan senjata utama bagi kebanyakan pedagang kuliner. Micin adalah salah satu aspek yang sangat penting. Namun na’asnya, micin memiliki self-concept yang rendah.

    Mengapa demikian? Lihat saja dari harganya yang hanya dijual sekian rupiah di pasaran sangat mudah didapatkan oleh masyarakat. Kehadiran micin sendiri merupakan sesuatu sensasi untuk menguatkan cita rasa masakan akan tetapi micin tidak memiliki rasa yang alami tetapi buatan. Bahkan ada yang mengatakan jika digunakan dalam takaran banyak maka akan menyebabkan penyakit kronis. Akhir-akhir ini di beberapa media sosial generasi micin ini sering mendapat bullying, hujatan, dan ada juga yang menaruh rasa keprihatinan, khususnya bagi generasi muda yang sedang mengalami degradasi moral dan etika. Siswa SMA sudah konsumsi alkohol, merokok, dan melakukan free sex seakan-seakan hal ini sudah tidak tabu lagi di jaman sekarang. Di berita koran juga sangat memperhatinkan saat anak remaja perempuan umur 19 diperkosa 19 orang, 21 tahun  diperkosa oleh 21 orang. Mungkinkah ini sebuah kebetulan? Di media maya generasi micin sering memamerkan foto mesranya menunjukkan bahwa dirinya memiliki kekasih dengan menampakkan adegan/pose layaknya kisah hubungan orang dewasa dalam berkasih. Dan yang mengundang tawa saat generasi micin yang kebanyakan menjangkit remaja tanggung memposting video berdurasi pendek di media hanya untuk memberitahu bahwa dirinya menangis, galau, sendu dan paling parah ada yang sampai memposting luka akibat menyakiti dirinya sendiri, penyebabnya kebanyakan karena putus dari sang kekasihnya.

    Kenakalan remaja seperti yang diuraikan di atas hanya sebatas remaja yang mencari sensasi dan berharap menjadi sorotan khalayak umum sama halnya dengan micin. Hadirnya hanya untuk sensasi cita rasa masakan dengan memberikan stimulus (asin, manis, masam) tetapi kendungan nutrisinya rendah dan tak memiliki gizi. Jika realitas bicara, hal seperti ini bukan Generasi Bangsa Indonesia yang tergolong generasi alpha lagi (generasi emas) seperti yang dikatakan oleh peneliti dari Amerika itu tentang generasi X, Y, dan Z.

    Peran lingkungan informal seperti lingkungan masyarakat, keluarga, kerabat, sahabat, dan teman memiliki peran penting dalam membentuk karakter seseorang apalagi orang tersebut masuk fase transisi anak-anak menuju remaja. Banyak hal baru yang ingin  dicoba dicari sensasinya. Selain itu peran lembaga formal seperti sekolah juga harus mampu memberikan kontrol, selain juga kontrol di luar sekolah. Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Agama merupakan dua komponen penting dalam menggembleng generasi micin dengan bantuan pendidik atau keluarga. Moral dan Etika serta pribadi yang cerdas banyak diajarkan oleh Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Agama maka peran guru harus benar-benar memberikan pengaruh dalam setiap perubahan mental generasi micin dan terampuh adalah bagaimana kurikulum pendidikan mendukung hal itu. 

التسميات:

29 نوفمبر 2019

Materialisme : Takdir dan Hal yang Tiada


Sumber Gambar : Google


Sebagian besar masyarakat indonesia mungkin sudah pernah mendengar istilah Materialisme. Ntah dalam hal mengetahui istilahnya saja atau mungkin memahami secara mendalam tentang segala aspek hingga tetek bengek yang terkandung dalam paham Materialisme. Dilingkup akademik misalnya, buku-buku yang dilabeli kiri makin hari semakin digandrungi oleh kalangan mahasiswa.  Dampaknya, tentu akan membuat mereka semakin mengenal tokoh-tokoh yang mempopulerkan dan membahas secara gamblang tentang Materialisme pada tataran tukang ilmiah, dengan dibuktikan data-data kajian-kajian empiris. Namun disisi lain ada juga yang menyaplirkan pemahaman materialisme, bahkan sebagian dari mereka sangat anti dengan paham yang bernama Materialisme hingga seakan-akan Materialisme itu bagian dari paham yang puncaknya adalah anti  pada Tuhan (immaterial) karena Tuhan bukan perihal yang bisa dimaterialkan dalam artian “Tuhan tidak Logis”, karena tidak nampak oleh panca atau penglihatan yang masuk akal sehingga diragukan sebuah kebenarannya, maka masyarakat awam menilai bahwa hal yang demikian bahaya untuk dipelajari, padahal belajar dengan meyakini adalah dua suku kata yang sangat berbeda. Materialisme meyakini  tentang suatu kebenaran jika kebenaranl tersebut nampak atau bisa direalitaskan secara kasat mata atau dapat dirasakan oleh panca indera. Disini yang menjadi duduk perkara untuk didiskusikan bersama-sama baik secara subjektif penulis ataupun sumbangsih pendapat dari pembacanya agar tetap hidup khazanah berpikir sebagai mahluk yang berbeda dengan mahluk yang lainnya.

Secara harfiah kata materialisme berasal dari kata “Materi” dan “isme”. Feurbach dan Epicorus memahami Materi  sebagai “Benda” atau segala sesuatu yang tampak. “Isme” penekananya lebih pada pengusung paham atau pandangan. Secara umum Materialisme merupakan pandangan hidup yang mencari dasar segala sesuatu yang mengatasi alam indera (kenyataan) dengan mengesampingkan sesuatu diluar alam indera (tidak nyata). Jadi jika dibenturkan dengan Tuhan, setan, surga, neraka, dan mengenai Takdir  yang akan kita banyak urai dalam tulisan ini, tentunya para tokoh materialis belum bisa menyakini tentang suatu kebenarannya, jika suatu kebenaran tersebut tidak nampak oleh mata atau bersifat immateri (tidak beruwujud) dari beberapa hal yang sudah disebutkan tadi. Disini letak permasalahan, sehingga sebagian awam menjadi anomali terhadap materialisme. Ntah ketakutan yang bermacam-macam dari berbagai miringnya tafsir tentang Materialisme. Bisa jadi, sebagian awam takut akan Materialisme karena mendekati kata Matre kali ya, istilah kekinian karena penekanannya adalah Benda, atau ada juga yang menafsirkan Materilisme itu “Hedon” orang yang takut sakit atau susah namun selalu ingin merasakan bahagia. Alhasil materialisme menjadi makna yang bias keluar dari definisi sang konsep gagasan Epicorus sebagai filsuf pertama yang mencetuskan paham materialisme pada masa abad Yunani kuno, lebih vulgar lagi Materialisme jika dikaitkan dengan paham Komunis, jika dibenturkan dengan kultur masyarakat Indonesia dengan segelumit perjalanan sejarahnya tentu akan mendapat cemohan habis-habisan dari masyarakat Indonesia, apalagi bangsa Indonesia punya sejarah kurang harmonis dengan hal-hal yang berbau Komunisme pada tahun 1965.

Beberapa hari lalu penulis sempat berdiskusi disebuah angkringan kopi dengan seorang redaktur media ternama di Bali, tema yang diangkat secara subjektif sungguh menarik, tentang bagaimana sih, pemikir Materialisme berbicara mengenai sebuah takdir dalam kehidupan manusia. Secara pemilahan objek pemikir Materialis, tentunya takdir merupakan kebenaran yang secara kenyataan belum dapat diketahui bentuk dan fisiknya secara materil (nyata) dalam artian kebenarannya dapat mengisi ruang dan waktu dalam suatu kesatuan realitas fisik. Jika dilarikan kedalam kajian suatu agama secara umum tentu takdir merupakan suatu kebenaran yang dapat dikatakan kebenaran mutlaq yang pasti datang menghampiri perjalanan hidup manusia dan itu pasti terjadi. Quraish Shibab dalam celotehnya juga pernah menyampaikan dengan jelas  bahwa semua umat muslim, percaya akan takdir, dalam sudut al-Quran pun Takdir berasal dari kata Qadr “kadar” atau “ukuran” dan “batas”. “Dia menciptakan segala sesuatu, lalu dia menetapkan atas takdirnya (ketetapan) yang sempurna-sempurnanya (Qs 25 : 2)” bahkan rumput hijaupun akan terbakar jika sudah kehendak takdir-Nya. Namun para pemikir materialisme belum dapat bisa menerima tentang kebenaran yang disampaikan dalam keterangan ini dan bahkan mereka akan saling lempar argumentasi tentang logika berpikirnya. Para pemikir materialisme akan mencari kebenaran yang lebih bertitik tumpu pada kajian ilmu pengetahuan bukan keyakinan tanpa melihat wujud atau fisiknya (keyakinan). Tentu dalam hal ini para para pemikir materialisme akan cenderung melogikakan tentang perkara takdir tersebut, namun perlu digaris bawahi bukan menyalahkan, tapi lebih pada satu rujukan melihat pada suatu kebenaran. Sepertinya jika dikaitkan antara Materialisme dengan filsafat positivisme milik August Comte tentunya sangat nyambung.

Pengusung paham Materialisme, biasanya melihat suatu kebenaran melui hal-hal yang berupa logika, analogi, contoh, dalam bentuk wujud (nyata). Berbeda dengan para pengusung paham idealism yang melihat suatu kebenaran bisa melalui keterangan-keterangan (semisal melalui ayat-ayat suci), perantara akal, dan data-data kajian. Lebih ilmiah lagi jika melihat sisi cara pendekatan pengusung paham materialis, biasanya melalui pendekatan kebenaran korespondensi “Benar apabila sesuai dengan kenyataansemisal karena rem blong, seorang pengendara sepeda motor mengalami kecelakaan yang berujung pada kematiannya. Jika dilarikan pada hal takdir, tentu sebagian orang meyakini dan menjadi ketetapan bahwa kematian orang tersebut dengan cara mengalami kecelakaan merupakan takdir dari pencipta-Nya. semua orang yang mengenal agama dan pengusung paham idealism pun meyakini dan menerima hal tersebut. Namun bagi pengusung paham Materialism, tidak akan membenarkan bahwa inseden tersebut merupakan ketetapan takdir dari sang pencipta melainkan pera pengusung Materialism lebih melihat pada daya analisis “ Kecelakaan yang menimpa orang tersebut disebabkan karena remnya yang blong, selain remnya blong ternyata jalannya penuh lubang sehingga menyebabkan kecelakaan yang berujung kematian” dan hal ini nyata setelah ditelusuri kebenarannya tanpa ada sangkut pautnya dengan takdir atau ketetapan sang pencipta. Semua hal di bumi pasti bisa dianalisa sebab akibatnya dengan memisahkan nilai-nilai yang sifatnya berkaitan dengan hal yang tidak nampak.
Analogi selanjutnya semisal karena tidak diikat dengan baik, seorang kakek kehilangan seekor kambing” jika dilarikan pada takdir, tentu ada benarnya bahwa sudah takdirnya kakek tersebut kehilangan kambingnya. Namun pengusung paham Materialism tidak membenarkan hal tersebut. Pasti tumpuan kebenarannya ia akan fokus pada kambing yang tidak diikat dan masuk akal jika hilang, jika kakek mengikat dengan baik tentu tidak akan terjadi kambing yang hilang, jadi tidak ada sangkut pautnya dengan takdir akan tetapi si kakek yang lalai sebagai penyebabnya. Jadi dapat kita garis bawahi, bahwa pengusung paham Materialis mengedepankan kebenaran materil daripada immateril sebagai rujukan melihat suatu kebenaran yang sebenarnya.

التسميات: