Kembali Bali Bertani
![]() |
| Sumber Gambar: Pngtree |
التسميات: Esai
![]() |
| Sumber Gambar: Pngtree |
التسميات: Esai
![]() |
"Untuk pendekatan yang waras demi menjalani hidup yang baik" Tagline: The Subtle Art of Not Giving A F-ck
Nitijen dihebohkan dengan beredarnya video berdurasi 19 detik yang masih menjadi rasa penasaran di kalangan publik. Sebab, dalam video syur tersebut diperankan oleh peremluan yang diduga memiliki kemiripan dengan publik figur bernama Gissele Anatasya (mantan istri mas Gading) dan lekaki yang menjadi pasangan dalam video XXX tersebut masih menjadi misteri di mata khalayak umum. Video mengenai hal ini sangat ramai diberitakan dan diperbincangkan di media hingga mampu menggeser Headline news tentang pro-kontra omnibus law, aksi serentak mahasiswa, dan bahkan wabah Covid-19 yang masih belum berakhir menjelang akhir tahun ini. Tidak hanya kalangan rakyat biasa yang menyoroti skandal video mesum yang diduga mirip dengan Gisselle, mulai dari praktisi supranatural hingga pengacara kondang yang top pun juga turut menanggapi video yang berdurasi sembilan belas detik dengan berbagai macam persepsi dan juga analisa untuk mengomentarinya.
Menarik sebenarnya mengenai video tersebut, bukan karena adegannya yang syur namun tentang masyarakat yang gampang sekali mengalihkan fokusnya pada hal yang sebenarnya tidak memiliki esensi yang jelas namun paling sangat diminati perkembangan kasusnya. Dalam benak ini bertanya, apa urgensi topik tersebut terhadap masyarakat luas? Tentu penulis rasa, berkaitan dengan moralitas, jika memang terbukti dalam video tersebut seperti yang diduga maka bisa terjerat UU pornografi dengan dasar kelalaian menyimpan video tersebut dan bisa berujung di bui.
Namun, terlalu berlebihan jika semua orang beramai-ramai ikut menilai, mengira-ngira, dan mengomentari berujung fitnah terkait video tersebut. Penulis jadi ingat sosok Socrates dalam peristiwa ini, Filosof Athena itu pernah mengatakan, jika suatu permasalahan mendapat banyak respon dari orang yang bukan ahlinya, maka akan terjadi suatu kesesatan berpikir dan keliaran persepsi, yang dimaksud disini akan melahirkan suatu stigma negatif pada orang bersangkutan yang belum tentu kebenarannya dan tentunya hanya akan menimbulkan kegaduhan yang berlarut-larut tiada henti. Terkait kasus tersebut cukup kita sebagai nitijen diserahkan pada pihak berwajib beserta timnya yang bisa menyelesaikan kasus tersebut karena memang secara tupoksi merekalah yang membidangi kasus itu. Ketika semua orang berpersepsi secara membabi buta bahkan anehnya sampai ada pemberitaan medka terkait mengungkap kebenaran melalui ramal meramal baik melalui interaksi gaib ataupun penerawangan, penulis rasa sangat tidak perlu. Kecuali memang masalah ini urgensi bagi nasional dan menjadi penentu nasib bagi banyak orang.
Mark Manson "Semua akan baik-baik saja dengan bersikap bodo amat"
Pembaca pasti pernah membaca buku karya Mark Manson tentang The Subtle Art of Not Giving A F-ck atau buku terjemahannya yang berjudul "Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat" secara subjektifvitas penulis tentu buku itu cukup memberikan suatu makna dan hikmah bagi setiap orang yang membacanya. Bagaimana sebagai manusia untuk memiliki sikap bodo amat terhadap hal-hal yang seharusnya diabaikan. Kasus video syur ini tentu ada petugas yang akan menangani, tugas kita sebagai masyarakat harus lebih cerdas untuk menyikapi, apalagi hampir setiap media menjadikan video sembilan belas detik tersebut sebagai headline hingga menjadikan banjir tanggapan.
Dalam buku Mark Manson ada lima hal yang bisa kita petik hikmah dibalik situasi hati ini. Pertama, kita berhak untuk bahagia. Kedua, kita jangan terlalu fokus pada hal-hal yang seharusnya bisa diabaikan. Ketiga, tahu atas apa yang seharusnya layak dipedulikan. Keempat, harusnya kita lebih fokus pada hal yang lebih penting. Kelima, Kita akan menjadi baik-baik saja ketika kita sudah bisa membaca mana hal penting untuk tanggapi atau sebaliknya hal tidak penting yang seharusnya tidak terlalu penting untuk ditanggapi. Diantara lima makna yang dapat dimaknai dalam buku tersebut jika dikaitkan dengan konteks aktual saat ini, video berdurasi sembilan belas detik yang ramai diperbincangkan justru sangat tidak memiliki urgensi yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak, ataupun apabila ditanggapi serius akan apakah berpengaruh atas nasib orang banyak?
Di Amerika pernah terjadi skandal kasus serupa tentang pornografi yaitu atlet bassbal terkenal, siapa yang tidak kenal Tiger Woods, bahkan dirinya lebih populer daripada orang yang diduga mirip dengan video syur 19 detik itu. Namun, masyarakat Paman sam tidak terlalu fokus dalam menanggapi hal tersebut dan lebih menyerahkan pada pihak yang berwenang. Tentunya masyarkat Amerika sudah memahami mana hal penting yang mendesak untuk dipentingkan dan mana hal yang tidak mendesak untuk dipentingkan.
"Saat kita terlalu peduli pada hal-hal yang seharusnya diabaikan, kita menghabiskan banyak waktu untuk lari dari masalah kita daripada berdamai dengan masalah itu sendiri," - Mark Manson (The Subtle Art of Not Giving A F-ck)
Menjaga Kewarasan Publik
Sebuah seni hidup untuk tetap menjaga waras. Waras dalam artian sehat berpikir pada akal sehat manusia. Dari sekian headline media yang menampilkan berita video berdurasi sembilan belas detik dengan berbagai judul yang sungguh luar biasa wah, hingga mampu menarik minat untuk membaca dan berkomentar yang includenya menimbulkan persepsi ataupun stigma negatif atas apa yang telah dia baca (resiko menimbulkan kekeruhan opini publik). Media memiliki tugas sebagai media mencerdaskan dan mendidik dalam menyampaikan fakta-fakta, baik berupa data maupun hal lainnya terkait informasi yang akan disampaiakan pada masyarakat. Jangan sampai media berubah tupoksinya dengan hanya mencari viewiers dan sensasi dalam penyampaian informasi. Media dalam konteks penyampaian berita khususnya pemberitaan video sembilan belas detik sangatlah besar pengaruhnya dalam menjaga kewarasan publik. Kekhawatiran yang penulis maksud penulis disini bahwa media tidak lagi mampu melahirkan empati terhadap peristiwa yang terjadi, hingga opini publik menjadi liar dan sangat tidak terkontrol satu sisi hal tersebut sungguh tidak manusiawi bagi yang tertuduh ataupun yang diduga. Sebaiknya, kasus tersebut kita serahkan pada petugas yang berwenang dalam menangani hal tersebut, karena jika terlalu berlarut-larut dengan kegaduhan persepsi yang ditimbulkan oleh publik tentang video tersebut. Tentu sangatlah konyol sekelas negara Indonesia yang berkembang menuju masyarakat maju masih ribut menanggapi video syur bahkan dalam konteks tersebut ada perihal ramal-meramal tentang kebenarannya, untuk apa? Itu tidak penting dan tidak tepat dengan kewenangannya.
*Tulisan ini pernah di publish oleh media Pranusa.id pada 17 November 2020
التسميات: Esai
“Walau kita berbeda-beda namun kita tetap bersatu dalam bingkai NKRI, yang punya sifat fanatisme minggir dulu jangan usik ketentraman ibu pertiwi” - MerawatIngat
Indonesia merupakan negara Multikultur dengan masyarakat yang pluralitas (majemuk), terdiri dari beragam kebudayaan, agama, bahasa serta suku. Lahirlah semboyan yang disebut Bhinneka Tunggal Ika, istilah yang diambil dari kitab Sutasoma pada abad 14 kerajaan Majapahit yang memiliki arti “berbeda-beda namun tetap satu”.
Sejak SD sampai SMA bahkan di Perguruan Tinggi, kita selalu ditanamkan nilai-nilai ke-Bhinnekaan oleh guru/dosen PPKn tentang makna semboyan tersebut. Semboyan yang digunakan untuk menggambarkan persatuan dan kesatuan semua komponen bangsa dalam hidup bernegara, baik yang dilatarbelakangi oleh perbedaan agama, suku, bahasa, serta budaya. Perlu kita garis bawahi, bahwa bangsa ini lahir dari berbagai perbedaan namun memiliki tujuan yang sama sesuai pandangan hidup ideologi Pancasila (way of life).
Jika kita mengingat kembali pada zaman di mana bangsa ini mengalami mimpi buruk, yang menjadi Bab Gelap sejarah sempat dijajah Belanda selama 350 tahun, serta Jepang selama 3 Tahun. Tentu ini merupakan hal yang sangat menyedihkan, mengingat bangsa kita banyak menghabiskan waktunya dengan tertindas baik melalui fisik dan psikis oleh perlakuan bangsa penjajah sehingga menimbulkan kesengsaraan penderitaan. Namun karena nilai ke-Bhinnekaan lah membuat semua komponen bangsa keluar dari penderitaan tersebut karena adanya rasa persatuan sekalipun mereka dilatar belakangi agama, suku dan ras yang berbeda.
Sehingga yang terjadi pada tahun 1945 adalah Bangsa kita mencapai kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan oleh Presiden Ir. Soekarno dan Moh. Hatta. Tentu kita harus sadar dengan semangat kebersamaan dan persatuan ini kalau kita meminjam kata dalam lirik lagu lagu “Manisnya Negeriku” yang dinyanyikan oleh pengamen jalanan bernama Pudjiono, “banyak suku-suku dan budaya, ada Jawa, ada Sumatera sampai Papua…ragam umat-umat agamanya ada Islam, ada Kristen, Hindu, Budha. Semuanya ada di sini (Indonesia).
Bukan Indonesia namanya jika tanpa orang Sumatera, orang Jawa, orang Papua, dan pribumi lainnya di Indonesia. Bukan juga Indonesia namanya jika tanpa Umat-umat Islam, umat Kristen, Umat Hindu, umat Konghucu, ataupun Budha.
Kenyataan ini menggambarkan betapa Bhinneka-nya manusia-manusia Indonesia sehingga menjadi suatu kewajaran apabila Bhinneka Tunggal Ika dijadikan semboyan dan filosofi hidup bangsa Indonesia. Sebuah pernyataan dari cendikiawan muslim ternama Indonesia Nurcholis Madjid (alm) bahwa “Pluralisme sesungguhnya adalah sebuah aturan Tuhan “sunnatullah” yang tidak akan berubah sehingga tidak dilawan atau diingkari”.
Dari beberapa pemaparan yang disampaikan tentu bangsa ini diibaratkan suatu keberagaman nasional Indonesia yang jika dipahami dan diaplikasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini, akan melahirkan harmoni indah layaknya sebuah pelangi yang dipandang indah saat warna-warninya muncul pascahujan menerpa.
Andai pelangi hanya ada satu warna maka akan terlihat biasa saja dipandang mata, kita berbeda namun tetap bersatu, bersatu meskipun tak sama. disitulah ada keindahan dalam kehidupan. Akan tetapi dewasa ini sebagian masyarakat kita kontra terhadap keberagaman dan justru muncul sifat fanatisme dan egoistik. Misalnya ada pendapat bahwa “tidak boleh memilih kafir untuk dijadikan pemimpin”. Pemimpin kafir yang kerap dimaksud adalah orang non muslim. Ini jelas merupakan sebuah ancaman disintegrasi suatu negara yang dilatar belakangi kedok agama dengan tidak menghargai keberadaan agama lain, sehingga nilai-nilai ke-ke-Bhinekaan diingkari. Tentu dalam amanat aturan konstitusi tidak dilarang bagi siapa saja menjadi pemimpin asalkan dia mampu memimpin dan sanggup mempertanggung jawabkan. Semua berhak menjadi pemimpin baik dari Umat Islam, umat Kristen, Umat Hindu, Umat Budha dan umat lainnya.
Tulisan ini bukan memihak siapa-siapa atau pihak tertentu, apalagi dilarikan pada persoalan pribadi yang bersinggungan dengan pertarungan politik di DKI 1. Setiap gerak dan aksi itu selalu ada kepentingan dan selalu ditunggangi kepentingan apalagi pertarungan panas di DKI yang dibumbui politik dan kekuasaan. Tentu kita harus mawas diri agar selalu siaga dengan gejala-gejala disintegritas. tentunya bangsa Indonesia jangan sampai termakan isu-isu yang bersifat provokasi yang hanya menimbulkan adu domba diantara kita. Include-nya adalah Indonesia akan hancur atau mengalami disintegrasi tak ubahnya konflik di Timur Tengah, karena tidak adanya lagi toleransi dan menghargai sesama manusia.
Kita semua pasti berharap agar tidak ada lagi yang namanya perpecahan ataupun merendahkan perbedaan di antara kita dengan menjustifikasi buruk terhadap sesuatu hal karena tidak se-agama, tidak se-suku, tidak se-budaya dan lain-lain.Yang harus kita kuatkan adalah rasa persamaan dan persatuannya jangan perbedannya kira-kira seperti itu. Cuma ini yang bisa saya pahami tentang arti ke-Bhinnekaan. Salah seorang guru sejarah pernah menyampaikan hal ini: ada dua cara untuk menghancurkan suatu negara (1) Putus rantai sejaranya (2) biarkan bangsanya berpikir liberal.
Poin pertama tentu merupakan masalah kita yang lupa dengan makna Bhiennika Tunggal ika yang pernah dirintis oleh para Founding father bangsa Indonesia, bahwa bangsa ini lahir dari adanya perbedaan. Poin kedua adalah lemahnya pengawasan atau kontrol oleh pemerintah sehingga doktrin-doktrin liberal-ekstrimis mudah masuk dan dianut oleh bangsa kita yang justru menghancurkan negaranya sendiri.
Mari kita sebagai bangsa yang berpikir harus merenung di tengah-tengah kondisi genting yang sedang mengancam ketahan nasional serta menemukan solusi. Ingatlah adegium ini “Indonesia layaknya sebuah pelangi setelah hujan yang memiliki pancaran warna yang indah dan mempesona saat semua warna saling bersatu dan beriringan”.
*Tulisan ini pernah dimuat di media online tatkala.id
التسميات: Esai
Sebagai bangsa yang dibekali akal pikiran tentu sewaktu-waktu akan muncul pertanyaan dalam dirinya “ideologi itu apa sih?” mengingat ideologi merupakan hal penting yang harus dimiliki suatu bangsa. Jika jawaban tersebut dijawab ala kadarnya bahwa ideologi sebagai pedoman hidup dalam konteks kehidupan ber-bangsa dan ber-negara, tentu akan kembali memicu suatu tanya, “apa tidak cukup dengan adanya ajaran agama dan kitab suci sebagai pedoman ?”.
Hal-hal seperti ini harus segera ditanggapi dengan kejelasan jawaban yang tepat, jangan sampai pertanyaan tersebut bertemu pada jawaban yang justru menimbulkan cikal-bakal kesesatan berpikir dalam tanda kutip akan menyebabkan generasi bangsa ini, mengarah pada paham disintegrasi yang justru mengancam eksistensi dan esensi ideologi Pancasila untuk beberapa tahun kedepan. Bisa-bisa kita yang hidup dalam keberagaman ini ribut dan tidak harmonis hanya karena memperdebatkan tentang ideologi dan hal tersebut akan terlihat konyol mengingat negara-negara yang sudah maju sudah tuntas tentang perdebatan ideologi. Mereka hanya fokus pada peradaban yang kondusif dengan penekanan ilmu pengetahuan dan tekhnologi.
Menanggapi pertanyaan pada paragraf pertama., agama dan kitab suci memang merupakan suatu pedoman dalam diri manusia untuk menjalankan keyakinannya (sesuai ajaran agama masing-masing). Tetapi, bukan berarti kita sebagai manusia yang menjadi suatu bangsa tidak membutuhkan lagi yang namanya ideologi, khususnya ideologi yang mampu membawa kebahagian bagi semua yakni ideologi Pancasila. Mengingat kita tumbuh dan besar di negara Indonesia tercinta ini. Mengutip argumentasi dari cindekiawan muslim sekaligus intelektual muslim Dr. Yudi Latief (Pembina Yayasan Nurcholis Madjid Society) yang menyangkut tentang Agama dan ideologi Pancasila. Tentunya, dua hal tersebut baik ajaran agama dan Pancasila tidak bisa dipisahkan atau memilih salah satu dari keduanya, sebab diantara agama dan ideologi Pancasila ibaratkan satu tarikan nafas sekaligus, yang berisi nilai-nilai kebaikan bersama, yakni nilai-nilai Ketuhanan.
Jadi tidak bisa kita memisahkan atau pun memilih dan mengorbankan diantara salah satu. Ketika kita sebagai bangsa Indonesia sudah ber-Pancasila secara otomatis kita menjalankan ajaran baik dalam agama. Jika mengamati keadaan negara Indonesia yang majemuk dengan pluralitas yang begitu tinggi baik dalam meliputi keberagaman suku, agama, budaya dan bahasa setiap daerah di Indonesia, tentu sangatlah rentan dengan konflik namun semua dapat terhindari jika kita memahami dengan betul tentang ajaran nilai-nilai dari Pancasila yang selaras dengan ajaran agama. Dan dibalik keberagaman tersebut, bagaimana kita menyatukan perbedaan yang ada tanpa harus menimbulkan suatu pertentangan dan perpecahan dalam negara kesatuan Indonesia? Disinilah peran dan letak fungsi, mengapa kita harus berpegang teguh pada tujuan baik dari adanya ideologi Pancasila.Meminjam analogi Muzayyin dalam buku Pendidikan Pancasila yang diterbitkan oleh Kemenristek Dikti pada tahun 2016:
“Pancasila seperti jalan aspal yang memberikan arah kemana kendaraan itu dapat dibawa tanpa kerusakan. Berbeda dengan jalan yang tidak diaspal (tanpa ideologi), meskipun kendaraan dapat berjalan tetapi dalam waktu yang singkat kendaraan anda akan cepat rusak. Oleh karena itu, Pancasila merupakan pandangan hidup dan kepribadian bangsa yang nilai-nilainya bersifat nasional yang mendasari kebudayaan bangsa, maka nilai-nilai Pancasila merupakan perwujudan dan aspirasi (cita-cita hidup bangsa)”
Meyakini dan mengamalkan Pancasila dengan sungguh-sungguh tentunya juga akan sejalan dengan ajaran agama yakni ajaran ketuhanan (tidak sama sekali bertentangan), tanpa bermaksud untuk mendikotomi (memisahkan antara dan agama). Karena Pancasila pada konteks tersebut sudah sangat-sangat dijiwai oleh nilai-nilai agama dan Katuhanan. Tanpa nilai-nilai Ketuhanan, sila-sila yang ada dibawahnya tidak akan pernah bersinergi antara satu dengan yang lainnya (ada yang terputus). Secara resmi ada enam agama yang diakui di negara Indonesia. Namun bagaimana ditengah masyarakat yang berisi multi agama di Indonesia agar tetap hidup saling rukun dan berdampingan dengan damai dalam bingkai persatuan.
التسميات: Esai