07 أبريل 2025

Diary Al Kindi #2

 

Hari ketujuh di bulan Ramadhan. Ayah menulis ini agar suatu hari nanti kamu bisa membacanya dengan baik dan merenungkannya.

Di antara banyak pemikir hebat dalam sejarah Islam, ada satu nama yang karya dan pemikirannya menjadi rujukan dunia hingga hari ini: Al-Khawarizmi.

Beliau lahir di Khawarezm (sekarang dikenal sebagai Khiva, Uzbekistan) pada tahun 780 M. Ia dikenal sebagai ahli matematika dan astronomi, serta pencetus konsep algoritma yang kini menjadi fondasi dalam pengembangan komputer modern.

Bayangkan nak, media sosial seperti Facebook, Instagram, Twitter, Google, dan lainnya tak akan pernah ada tanpa algoritma. Bahkan para tokoh dunia pun mengagumi sosok ini. Salah satu kutipan yang dikenal dari CEO Facebook, Mark Zuckerberg, pernah menyatakan:

Saya heran ada orang-orang yang terlalu mengidolakan saya, padahal saya sangat mengidolakan ilmuwan Muslim Al-Khawarizmi. Karena tanpa algoritma dan aljabar, jangan pernah bermimpi ada Facebook, WhatsApp, bahkan komputer.

Tak hanya itu, Al-Khawarizmi juga dikenal sebagai orang yang mempopulerkan angka nol (0) dalam sistem bilangan. Kehadiran angka ini memudahkan manusia dalam berhitung—termasuk ibumu saat menghitung pengeluaran bulanan kita. Tapi lebih dari itu, angka nol mengubah cara manusia berpikir tentang semesta. Nol mewakili kekosongan, sekaligus kemungkinan tak terbatas. Keren, bukan?

Lalu, apa pelajaran yang bisa kamu ambil dari beliau?

Suatu hari, Al-Khawarizmi pernah ditanya: “Bagaimana cara menentukan perempuan yang terbaik?”

Ia menjawab dengan cara yang sangat khas—penuh logika dan makna:

Jika perempuan itu shalihah dan beragama, nilainya adalah 1.

Jika dia cantik, tambahkan 0: jadi 10.

Jika dia kaya, tambah lagi 0: menjadi 100.

Jika dia dari keluarga baik-baik, tambah lagi 0: menjadi 1000.

Tapi jika angka 1 (agama dan akhlak) itu hilang, maka yang tersisa hanyalah deretan nol besar.

Tidak bermakna apa-apa.

Bagaimana, apakah kamu mengerti Al Kindi ?

التسميات:

Diary Al Kindi #1

 

Tulisan ini sangat menyentuh dan penuh refleksi mendalam. Gaya bahasanya hangat, personal, dan sarat makna—cocok untuk genre parental diary atau reflektif edukatif.


Diary Al Kindi — Albert Einstein

Tidak terasa, Al Kindi sudah tumbuh menjadi anak-anak dan sebentar lagi akan masuk sekolah. Sejak pertama kali lahir dari rahim ibunya, sudah lima tahun ia menghirup udara bumi—bumi yang penuh dengan ambisi manusia. Sebelumnya, ia hanya tertidur di dalam rahim ibunya, menikmati surga kecil yang tenang, hingga akhirnya karena ketetapan-Nya, ia hadir di dunia ini untuk merasakan satu-satunya hal paling masuk akal di bumi: kasih sayang dari ayah dan ibunya dalam kehangatan keluarga.

Ayahmu adalah seorang guru. Ibumu, perempuan yang memberikan seratus persen tenaga dan pikirannya untuk keluarga. Kami bukan dari kalangan bangsawan, hanya rakyat biasa. Tapi Al Kindi dirawat dengan sepenuh cinta. Meskipun tidak selalu dibesarkan dengan daging dan susu, nutrisi untuk jiwamu, hatimu, dan akalmu, selalu kami siapkan sebaik mungkin.

Al Kindi kecil memiliki mata bolak, hidung mancung seperti ayahnya, rambut lurus, kulit kuning langsat yang bersih, dan senyum manis seperti ibunya. Sejak dalam kandungan, kamu sudah akrab dengan suara kami. Ayah sering membacakan dongeng, atau mengajakmu mengobrol seakan kamu mengerti. Dan mungkin kamu memang mengerti, dengan caramu sendiri.

Nak, kelak ayah tidak akan memarahimu hanya karena nilai matematika atau fisika yang buruk, selama kamu sudah berusaha. Orang jenius di abad ke-17 pernah mengatakan sesuatu yang selalu ayah ingat:

“Semua orang itu jenius. Tetapi jika kamu menilai seekor ikan dari kemampuannya memanjat pohon, maka ia akan hidup seumur hidupnya dengan percaya bahwa dirinya bodoh.”
Begitulah kata Albert Einstein.

Ayah percaya bahwa Tuhan menciptakan manusia dengan keunikannya masing-masing. Maka, tidak mungkin ayah menyebutmu bodoh hanya karena nilai ujianmu rendah. Dunia ini sering terjangkit logika terbalik—seolah-olah setiap anak harus menaklukkan dua belas disiplin ilmu sekaligus di sekolah. Padahal, kamu tidak bisa menangkap dua belas ekor kelinci dalam satu waktu sekaligus.

التسميات:

04 أبريل 2025

Merayakan Lebaran: Ada yang Hilang!

Lebaran membawa perantau pulang. Pulang melihat semua yang telah berubah menjadi kenangan.” - merawatingat

Sebagai orang desa yang merantau ke Kota, mudik adalah salah satu budaya yang menjadi kebiasaan masyarakat Indonesia saat menjelang lebaran. Kampung halaman menjadi tujuan setiap orang untuk pulang mengunjungi orang tua dan keluarga. Lebaran menjadi ajang sakral yang tidak boleh dilewatkan oleh seorang perantau untuk bisa berkumpul bersama keluarga di kampung halaman baik untuk silaturahmi maupun bermaaf-maafan.

Istilah Lebaran sebenarnya berasal dari akar kata bahasa jawa “Lebar” yang berarti selesai atau sudah berlalunya bulan puasa Ramadhan menuju hari kemenangan. Lebaran ataupun idul fitri merupakan momen istimewa bagi seorang muslim selain setahun sekali lebaran juga membawa setiap muslim kembali pada kesucian dan kebersihan dari dosa ataupun kesalahan. Sehingga pada momentum tersebut setiap orang memiliki ruang untuk saling bersinergi membangun dan memperkuat persaudaraan. 

Sebagai perantau tentu lebaran sangat dinanti-nanti, ada kebahagiaan tersendiri ketika suasana mudik untuk merayakan hari kemenangan di kampung. Selain jajan khas lebaran, masakan ibu dirumah, dan tentu kita dapat menikmati suasana kampung halaman yang berbeda dengan suasana di kota yang penuh kemacetan dan padatnya kesibukan karena tuntutan pekerjaan. Kita ambil contoh saja di kampung kita akan menikmati hujan dengan kesejukan dan ketentraman, di kota kita akan menikmati hujan beserta banjir yang terjadi dimana-mana. Namun tidak fair jika kita membandingkan hal tersebut, namun pada intinya kampung halaman menjadi tempat paling nyaman untuk kita pulang baik dalam keadaan menang ataupun kalah ketika kita mengais rezeki di perantauan. Jadi pada dasarnya pulang kempung bukan hanya sekedar pulang, namun mempunyai esensi untuk mendekatkan diri dengan keluarga tercinta. 

Namun tahun ini di kampung halaman terasa berbeda, setiap sudut di kampung yang mengisahkan cerita saat masa kanak-kanak hingga remaja namun pada hari ini yang tersisa hanyalah cerita dan kenangannya. Satu persatu teman sepermainan mulai menghilang karena keadaan yang memang memaksa mereka untuk merantau ke kota menjalani pekerjaqn ataupun bahkan karena faktor lain seperti berkeluarga di daerah lain. Setiap sudut di kampung yang mengisahkan banyak cerita, saat ini hanya tersisa kenangannya saja. Pekarangan luas, sawah, lapangan yang biasa menjadi tempat berkumpul dan bermain sekarang menjadi bangunan padat pemukiman, tidak ada ruang lagi. Semua yang pernah menjadi cerita pada masa dulu tidak akan terulang kembali.

Pada akhirnya, pulang di momen lebaran bukan hanya tentang melepas rindu pada keluarga, tapi lebih dalam lagi tentang semua yang kita ingat dikampung halaman seakan membawa kita pada suasana dahulu. Pulang kampung bukan sekadar pertemuan fisik, tetapi juga tentang membawa energi positif dan semangat kebersamaan ke dalam lingkungan keluarga, dan tentu sebagai bentuk refleksi diri darimana sebenarnya kita berasal. Merayakan lebaran di kampung salah bentuk balas dendam paling manis saat kita berbicara rindu. Tidak ada penawarnya selain mudik, lebaran, dan merayakan semuanya disini.

التسميات: