30 أغسطس 2021

PPKM dan Masyarakat Babak Belur


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), babak belur memiliki suatu pengertian lecet dan bengkak serta tampak biru lebam (karena kena pukulan, tinju dan sebagainya). Tetapi. apapun interprestasi tentang kata babak belur yang jelas, babak belur merupakan bentuk rasa sakit ntah akibat suatu pukulan fisik ataupun terpukul perihal lainnya. Terpukul dampak Covid-19 misalnya.

Covid-19 bukanlah hal baru. Sudah dua tahun kita hidup dalam carut-marutnya, perhari ini kondisi tatanan sosial masyarakat Indonesia juga sedang babak belur baik itu meliputi  bidang ekonomi, pendidikan, pariwisata bahkan psikososial setiap individu, hal tersebut dirasakan oleh semua masyarakat Indonesia mulai dari masyarat kelas bawah sampai masyarakat kelas atas pun merasakan dampak yang sama akibat adanya wabah Covid-19 yang menjangkit negara Indonesia. Pemerintah pun mengeluarkan kebijakan untuk memutus penyebaran Covid-19, mulai dari PSBB, PSBB transisi, PSBB ketat, Pembatasan Sosial Berskala Mikro atau Kecil (PSBM/PSBK), Pembatasan Sosial Kampung Siaga (PSKS), PPKM Darurat, hingga kini PPKM Level 4. Tujuh nama berbeda untuk kebijakan yang serupa. Namun apa hasilnya ?. Dikutip dari Tempo.co bahwa hasil dari kebijakan tersebut jauh dari kata menggembirakan, kita buka data pada 20 Juli 2021, tanggal di mana PPKM darurat berakhir, angka kematian adalah 1280 orang. Kemarin, sehari sebelum PPKM Level 4 kembali diperpanjang, pada 1 Agustus 2021 jumlah kematian adalah 1604 orang. Untuk beberapa lama di antara tanggal tanggal itu, jumlah kematian dalam satu hari pernah mencapai 2000-an orang. Yang menjadi pertanyaan disini, apakah usaha kebijakan yang sama dengan nama yang berbeda akan menghasilkan hasil yang berbeda?.

Disatu sisi, dampak kebijakan pemerintah membuat masyarakat semakin tidak karuan. Penghasilan masyarakat menurun, dan angka pengangguran ikut meningkat. Survei Angkatan Kerja Nasional angkatan tahun 2020 mengatakan Covid-19 berimbas pada sektor ketenaga kerjaan sebesar 29,12 juta orang (14,28 persen dari 203,97 juta orang penduduk usia kerja). Sedang daya beli masyarakat yang menurun akibat pembatasan sosial yang menyebabkan penghasilan berkurang dan jika semua kebijakan tidak juga menentukan kepastian bukan tidak mungkin kita akan hidup dibawah garis kemiskinan yang akan membuat masyarakat menjadi babak belur total (sangat menyakitkan). Apapun kebijakannya kita harus tetap optimis, namun juga perlu kelogisan dalam melihat permasalahan ini, belajar pada negara Inggris dan beberapa negara eropa lainnya lakukan Lockdown dan percepat vaksinasi, namun kebutuhan masyarakat harus benar-benar terpenuhi, daripada kebijakan yang berlarut-larut tapi tidak kunjung menemui kejelasan dan kepastian.


Tentang Penulis: 

Penulis bernama lengkap Vania Callista Artanti. Seorang pelajar program studi MIPA di SMA Negeri 1 Prajekan, Kabupaten Bondowoso. 



التسميات:

25 أغسطس 2021

Jangan Lupa Bahagia

 


“Ingatlah ini, hanya dibutuhkan sesuatu yang kecil untuk membuat kebahagiaan hidup” Marcus Aurellius (Kaisar Romawi)

Jika dalam tulisan Catatan Bingung nomor lima  tentang Sokrates dan Nasi Jinggo yang saya tulis di blog pribadi beberapa waktu yang lalu, pembaca akan menemui bahwa filsuf besar bernama Sokrates memaknai kebahagiaannya dengan menjadikan dirinya dalam hidup yang se-sederhana mungkin. Dan setiap manusia harus yakin bahwa setiap manusia harus mampu terlepas dari penyakit berupa belenggu nafsu dan ambisi yang terkadang membuat manusia tidak pernah merasakan cukup dan bahkan berpotensi menyebabkan sifat kerakusan dan tamak dalam diri. Mencantumkan nama Sokrates dipembuka tulisan ini, tentu menarik dan pasti pembaca akan bertanya bagaimana para filsuf selain sokrates menikmati  tentang kebahagiaan yang dia jalani selama menggunakan akal sehatnya.

“Makanan enak, baju indah dan segala kemewahan. Itulah yang kau sebut kebahagiaan, namun aku percaya suatu keadaan dimana manusia tidak menginginkan apapun adalah kebahagiaan tertinggi”.- Sokrates

Setiap filsuf mengartikan dunia dengan cara yang sangat menarik, dengan cara-cara yang tentunya mempunyai nilai bijaksana, bahkan hal itu diluar apa yang dipikirkan manusia pada umumnya. Terdengar sepele dan sederhana, tapi begitu berat dibiasakan dan diajlani dalam kehidupan sehari-sehari. Membiasakan bersyukur, misalnya. Didalam kerangka berpikir filsafat, dimana seorang Sokrates dapat dengan mudah pembaca pahami sebagai manusia yang mencari hakikat dasar untuk menemukan kebahagiaan sejati, tentunya dilakukan dengan cara-cara yang filosofis dengan menyelami hidup bersama kebahagiaan yang sejati bahwa kebahagiaan itu bukan tentang hal yang berwujud uang, benda dan jabatan. Bahkan setiap manusia yang masih bisa bangun pagi dalam keadaan bisa melihat dunia adalah suatu kebahagiaan yang jangan lupa untuk di syukuri.

Lantas apa dasar manusia untuk mengatakan tidak bahagia, sedang kebahagian terdapat dalam diri kita dan dapat kita rasakan dimana saja. Para filsuf selalu memandang dunia itu sangat menarik untuk dipelajari dan tanpa memikirkan keuntungan apa yang akan ia dapat dari perjalanan rasa ingin tahunya (tidak peduli dunia memberikan keuntungan apa) yang terpenting bagaimana kegelisahan dalam hati dan pikirannya dapat terobati sekalipun didalam kesimpulannya proses berpikir filsafat, sampai hari ini masih belum menemukan ketetapan yang pasti, sebab kesimpulan dalam filsafat selalu dinamis dan bahkan mampu mengobati bodoh dan mengusir takhayyul.

Ada beberapa aliran dalam filsafat, seperti diantaranya eksistensialisme, materialisme, universalisme, idealisme, positivisme dan segala macam kata penggantinya dalam melihat segala sesuatu yang berkaitan dengan definisi bahagia. Cara yang digunakan berbeda-beda sesuai dengan metode (alat) yang jadikan suatu passion dalam berpikirnya. Namun, tidak keluar dari apa yang kita sepakati sebagai kebijaksanaan berpikir secara filosofi dalam menemukan makna dan arti.

Seorang filsuf akan selalu merasa bahagia dalam keadaan terdesak atau bahkan susah sekalipun, seperti Sokrates yang saya ulas diawal paragraf pembuka. Tulisan ini akan sedikit banyak membahas tentang kebahagiaan dalam diri manusia. Setelah membahas Sokrates mari kita kembali pada periode abad ke-3 (Hellenis) yang juga intens membahas tentang kebahagiaan. Tentunya kurang lengkap rasanya jika tidak membahas para pemikir dari tokoh-tokoh filsafat Stoa yang hidup di abad ke-3 itu, sebab mereka begitu gamblang membahas perihal bahagia dalam menyikapi fenomena semesta dan segala kehidupannya.

Secara umum ada tiga nama besar yang menjadi figur didalam filsafat Stoa diantaranya Marcus Aurellius, Epitectus, dan Sineca ketiga tokoh tersebut merupakan generasi Hellenis ketiga yang pemikirannya banyak dipengaruhi oleh Zeno dari Citium. Zeno sendiri merupakan filsuf yang berasal dari Turki, konon ketika Zeno melakukan pelayaran dengan membawa barang dagangannya (Zeno seorang pedagang), tiba-tiba perahu yang dikendarainya diterjang badai sehingga membuatnya terdampar ke Yunani. Pada masa-masa terdamparnya di Yunani, dia sering berkunjung ke perpustakaan dan mulai tertarik dengan salah satu buku yang menurutnya sangat penting didalami sehingga membuat Zeno suka hati menanyakan kepada penjaga perpustakaan “Dimana saya bisa menemui penulis buku ini?”  tanya Zeno pada petugas disana. Momen yang tepat bersamaan ketika penulis bukunya juga ada disana, orang tersebut bernama Crates, petugas perpustakaan menunjuk ke arah Crates dimana dia juga seorang filsuf di Athena. Singkat cerita, Zeno mulai belajar filsafat kepada Crates dan mulai dikenalkan dengan filsuf-filsuf lain yang ada di Athena. Saat itu Athena menjadi pusat belajar filsafat, dan seiring perkembangan sang Zeno (yang juga dipengaruhi oleh Socrates pada masanya) menjadi salah satu pengajar Mazhab Stoa di wilayah tersebut.

Mengenal Stosisme

            Jika kalian membaca buku yang ditulis dengan cara bercanda seperti yang telah ditulis oleh Henry Manampiring dalam Filosofi Teras atau buku yang ditulis dengan sangat serius seperti buku The Hellenistic Philosophers terbitan Cambridge maka dapat dipastikan kalian akan menemukan arti  Stoisisme sebagai sebuah aliran atau mazhab filsafat Yunani kuno yang lahir di Athena (Yunani) pada awal abad ke-3 SM. Namun data di dalam kamus filsafat menyatakan bahwa Stosisme baru resmi pada tahun 108 SM setelah Zeno dari Citium. Orang-orang yang paling berjasa mempertahankan sekolah Stoa adalah Cleanthes dari Assos dan Chrysippus dari Soli sebagai generasi kedua dari Stosisme. Orang-orang yang belajar filsafat Stoa disebut kaum Stoik. Stoa bersasal dari bahasa Yunani jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia memiliki arti “teras” karena pada masanya Zeno mengajarkan pahamnya di teras-teras Athena yang berpilar  atau lebih mudah kita kenal dengan alun-alun kota (taman kota).

Stoisisme lahir dimasa-masa Yunani sedang mengalami kekacauan. Kehadiran Stoisme mampu memperbaiki mental orang-orang Yunani yang terjajah kebodohan dan kesengsaraan pada masa itu. Namun pengaruh Stoisisme tidak bertahan lama sebab pada abad ke-4 doktrin gereja sebagai kebenaran yang absolut mulai muncul dan Stosisme mulai tidak lagi banyak digaungkan. Tapi pada abad ke-20 Stosisme mulai populer kembali dan menjadi suatu kajian yang marak dibaca oleh kelompok intelektual, pemuda dan orang-orang pada umumnya yang sangat menggilai bacaan-bacaan berkaitan dengan filsafat. Bahkan di beberapa negara ada perayaan khusus yakni Stoik week yang dilaksanakan setiap bulan Oktober untuk sebagai bentuk rasa syukur dan mengenang pengaruh besar kaum stoa terhadap mental manusia yang menganut setiap pahamnya.

            Marcus Aurellius seorang kaisar Romawi, Epitectus seorang budak dan Julius Seneca seorang penulis kekaisaran romawi. Didalam aliran filsafat Stoisisme menekankan tentang bagaimana menjalani hidup atau bagaimana menjalani hidup dengan kebahagiaan yang sejati. Tujuan dari Stoisisme seperti apa yang sudah dijelaskan didalam buku yang ditulis oleh Henry Manampiring (Filosofi Teras: hal. 27) bahwa tujuan Stoisisme yang pertama, mengenai manusia agar bisa hidup bebas dari emosi negatif (sedih, marah, cemburu, curiga, dan lain-lain). Kedua, manusia hidup untuk mengasah kebajikan (kebijaksanaan, keadilan, keberanian, menahan diri). Yang ketiga, manusia diharuskan memiliki keberaninian (courage), keberanian yang dimaksud berani dalam berbuat benar, atau berpegang pada prinsip yang benar. Jangan sampai berani diartikan sempit dalam perihal ini. Dan yang terakhir yaitu manusia diharus bisa menahan diri (temperance), artinya manusia memiliki nilai-nilai disiplin, sederhana, dan kontrol diri atas nafsu dan emosi.

Dalam konteks ini dapat kita cermati bahwa Stoisisme sama sekali tidak terpesona dan tidak mementingkan pencapaian-pencapaian yang berkaitan dengan dunia, seperti kekayaan, kesuksesan karier, popularitas, dan segala kata serupanya tetapi lebih kepada sifat seseorang yang memiliki rasa tentram dan suka cita yang tidak mudah goyah disituasi apapun. Sederhananya, senantiasa bersyukur atas apa yang telah Tuhan berikan dalam diri kita, tanpa harus menunggu sesuatu yang besar baru sebagai manausia mau bersyukur dan menyatakan diri bahagia.

Jangan Lupa Bahagia

“seringkali perasaan mengalami takut, cemas, terganggu terhadap suatu hal yang timbul karena opini kita sendiri hal tersebut yang menyebabkan kita tidak kenal dengan bahagia. It is not things that disturb us, but our opinion of them” - Epitectus

Penekanan tulisan sebelumnya tidak pernah lepas dari kata “bahagia”, apasih yang dimaksud dengan bahagia? Ada banyak pengertiaan bahagia, mulai dari pengertian ahli pikir dan bahkan seorang bocil sekalipun bisa mengartikan tentang perasaan bahagia. Apa pentingnya bahagia bagi kehidupan manusia? mengingat banyak slogan dan caption medsos yang menyerukan “Jangan Lupa Bahagia” dan ada diantara manusia yang setiap tahunnya merayakan Internasional Day of Happiness, apakah mereka sudah benar-benar merasakan dan menikmati kebahagiaan yang sesungguhnya? Setiap orang bekerja keras untuk tetap tertawa dan mewujudkan kebahagiannya dengan harapan-harapan yang hidup didalam setiap pori-pori kulitnya. Tetapi manusia terkadang terlalu banyak keinginan yang ingin dicapai hanya demi satu makna “bisa bahagia” jika keterlaluan dan berlebihan, manusia akan tiba di stasiun bernama lupa, bahwa ada hal yang lebih nikmat dari sekedar keinginan yang telah tercapai, yakni tidak menginginkan apa-apa. Saya lebih setuju jika sesuatu yang membahagiakan itu tidak harus sesuatu yang bernilai mewah dan megah apalagi yang sifatnya sementara yang lebih kearah keduniawian. Maka dari sini kaum Stoa mengajarkan tentang asal usul bahagia yang sebenarnya melalui dikotomi kendali.

Kaum Stoa mengajarkan dikotomi kendali menjadi dua hal. Pertama, hal-hal yang bukan di bawah kendali kita, yakni tindakan orang lain, opini orang lain, reputasi, kekayaan, kondisi tubuh, segala sesuatu yang diluar pikiran dan tindakan kita seperti cuaca, gempa bumi, dan peristiwa alam lainnya. Kemudian, yang kedua adalah hal-hal yang di bawah kendali kita yaitu pertimbangan, opini, persepsi, tujuan hidup, dan segala sesuatu yang merupakan pikiran dan tindakan kita. Sehingga, individu diwajibkan untuk menerima kenyataan bahwa banyak hal-hal di luar sana yang senantiasa siap membuat kita merasakan kecewa hingga menyebabkan kita makin bingung dalam mengejar kebahagiaan.

Jalan keluar yang ditawarkan Stoisisme dengan menamkan dalam dirinya untuk tidak menggantungkan kebahagiaan pada hal-hal yang tidak bisa kendalikan (kembali pada teori dikotomi kendali). Namun, bukan berarti harus menghindari hal-hal yang berada di luar kendali, justru sebaliknya, menghadapinya dengan menerapkan kebaikan, tidak peduli seberapa pahit jalan seseorang tetap haruslah berbuat kebaikan. Seseorang yang hanya menggantungkan kebahagiaannya diluar kendali dirinya, “saya akan bahagia jika bersama si A, jika tidak…maka saya akan sangat sedih dan kecewa” misalnya. Keinginan-keinangan seperti itu banyak menjangkit pada dikalangan pemuda pada abad ini, penyakit Ghosting dalam hubungan cinta kasih juga termasuk salah satu didalamnya, dengan kata lain betapa hidupnya terobsesi dan dijajah oleh keinginan dengan hidup yang penuh harap dengan adanya orang lain dan ketergantungan pada kendali yang diluar dirinya (Berharap pada hati pasanganmu misalnya wkwkw) itu yang terkadang membuat kita jauh dari kata bahagia, karena dalam diri manusia tertanam cara berpikir bahwa bahagia itu berasal dari luar diri kita.

Saya sering bertanya pada diri sendiri, mana yang lebih penting bahagia karena tertawa atau tertawa karena bahagia? yang jelas, hal terpenting yang perlu saya ketahuai, bahwa bahagia itu diciptakan oleh diri sendiri bukan karena adanya orang lain (titik) atau hal lain diluar kendali diri saya sendiri. Tidak ada lagi setiap manusia yang berharap atau berkeinginan datangnya bahagia berasal dari orang lain atau diluar kendali dirinya sendiri. Agar senantiasa bahagia, satu-satunya cara peling sederhana adalah dengan bersyukur atas apa yang sudah kita lakukan selama ini dan apa yang kita miliki hari ini serta pandai-pandai mencermati diri seperti apa yang titik tumpu berpikir ala para filsuf dengan mengenali diri sendiri terlebih dahulu sebelum ke hal yang lain (be yourself).

Sebagai contoh lagi, untuk mencapai puncak kebahagian dimulai dari hal-hal yang sederhana misalnya hidup tidak untuk sering mengeluh, sering mengeluh muatannya adalah negatif dan akal akan bekerja dengan segenap dominan kenegatifannya sepertia apa yang pernah ditulis oleh Carl Sagan tentang pengaruh semesta dan pikiran manusia, karena bukannya melahirkan solusi dan jalan keluar atas masalah yang menghadang malah cenderung menyalahkan diri, orang lain dan lingkungannya. Tetapi dengan rasa syukur tanpa melibatkan keluh muatan dalam kinerja otak selalu positif, maka dapat disimpulkan  yang menentukan bahagia atau tidaknya seseorang dipengaruhi oleh sejauh mana setiap manusia bisa mengendalikan pikirannya juga. Jangan lupa, kesehatan yang kita rasakan dan waktu yang kita geluti adalah nikmat kebahagiaan tertinggi yang patut kita syukuri sebagai bukti bahwa kita bahagia tanpa harus melibatkan kekayaan dan segala macam kata sejenisnya yang sifatnya duniawi.


التسميات:

24 أغسطس 2021

Dear, Bupati Bondowoso: Peka Dong, Pak!

 


Di masa lalu, pemimpin adalah bos. Namun kini, pemimpin harus menjadi partner bagi mereka yang dipimpin. Pemimpin tak lagi bisa memimpin hanya berdasarkan kekuasaan struktural belaka. Erich Fromm

Saya awali tulisan ini dengan argumentasi monohok dari filsuf sekaligus psikolog yang populer pada abad ke-19 dengan penegasan bahwa pemimpin harusnya bisa menjadi partner bagi yang dipimpin yakni rakyatnya. Seorang pemimpin dipilih bukan hanya sebatas untuk mengisi kursi struktural, tetapi dalamnya ada tugas dan fungsi yang menjadi sebab mengapa struktur itu harus ada dalam sebuah sistem atau yang didalamnya lebih dikenal oleh masyarakat dengan sebutan jajaran pemerintah. Tentunya, semua itu bertujuan tidak lain dan tidak bukan hanya untuk mempermudah dalam menjalankan visi-misi yang akan dicapai dalam sebuah kemajuan daerah.

Pada tulisan kali ini, saya ingin menyampaikan beberapa poin yang menjadi duduk perkara untuk dibicarakan lebih serius dan lebih lanjut dalam  perihal perkembangan dan kemajuan sebuah daerah, terlebih semua ini berkaitan dengan daerah kelahiran saya. Bapak bupati yang saya hormati sebagai pemimpin dan teladan bagi masyarakat di Bondowoso, tentunya kami banyak harapan untuk melihat Bondowoso bisa melesat dan tumbuh lebih baik, Ntah itu secara peningkatan ekonomi masyarakat hingga fasilitas publik yang dapat menunjang untuk kehidupan tatanan sosial masyarakat maju. Jika rakyat memiliki fungsi mengontrol atas suatu kinerja pemerintah, maka melalui tulisan ini saya akan menyalurkan hak saya atas apa yang menjadi perkembangan di kabupaten Bondowoso.

Berbicara Bondowoso, ada banyak hal menarik yang ada di daerah ini, mulai dari jajanan Tapai/tape, nikmatnya kopi yang tergolong dalam java raung ijen hingga kemegahan gunung ijen  yang mulai dilirik oleh para pelancong domestik ataupun mancanegara sekalipun kalah start dengan kabupaten tetangga dalam hal mempromosikannya. Secara letak geografis kabupaten Bondowoso tidak memiliki laut dan bukan juga jalan utama yang menghubungkan antar provinsi seperti jalan yang dimiliki kabupaten lain yang termasuk daerah tapal kuda. Dan perlu digaris bawahi bahwa tape, kopi dan beberapa tempat wisata belum mampu mendongkrak kemajuan kabupaten Bondowoso khususnya pengaruhnya pada PAD. Pada tahun 2019/2020 provinsi Jatim mengeluarkan rilis tentang Data terakhir yang diterima oleh Badan Statistik Nasional (BPS) terkait sepuluh kabupaten termiskin termasuk di dalamnya ada kabupaten Bondowoso. (baca: jatim.bps.co.id).

Permasalahan yang terlihat bukan hanya dari suguhan data yang dikeluarkan olej BPS provinsi Jawa Timur. Dalam beberapa judul berita pun Bondowoso benar-benar menjadi perhatian serius (ditelusuri melalui realita nyata). Yang dimaksud perhatian disini bukan karena kabupaten ini berkembang seperti kabupaten tetangga dan daerah-daerah lain atas pencapaian prestasi yang mampu membangkitkan pariwisata dan memajukan setiap desanya.  Tapi lebih pada kesimpulan kata “miris” ketika kita berbicara tentang perkembangan di kabupaten Bondowoso. Ingatan saya tersusun baik tentang pelanggaran kode etik Kadispora lewat video tik-toknya, lapak PKL di alun-alun ki Ronggo yang tidak tersentuh pemerintah,  chatingan vulgar pak Sekda dengan bu dokter, sekolah yang dijadikan tempat Isolasi COVID-19, belum lagi masalah pengangguran yang makin tahun makin tinggi dengan bursa kerja yang juga ditiadakan. Logikanya, ketika pengangguran meningkat otomatis kecenderungan masyarakat menjadi miskin juga akan meningkat. Tingginya angka pengangguran berbanding lurus dengan angka kemiskinan. Berdasarkan data BPS Bondowoso jumlah penduduk miskin di Kota Tape pada tahun 2020 sebanyak 110.240 orang. Padahal pada 2019 lalu, penduduk miskin tercatat 103.330 penduduk atau naik hampir 7 ribu orang. Sedangkan jumlah pengangguran di Bondowoso pada tahun 2019 sebanyak 13.797 orang. Pada tahun 2020, angka tersebut berubah menjadi 19.473 orang, atau meningkat 5.676 orang dengan angka Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) sebesar 4,13. Dan beberapa hari yang lalu kembali terjadi hal yang menurut saya juga keterlaluan yakni warga kelurahan Kota Kulon, Kabupaten Bondowoso swadaya memperbaiki jalan rusak. Warga disana bosan menanti janji pemerintah membenahi infrastruktur namun tak kunjung terealisasi alasan pemda tidak memperbaiki karena tidak memiliki anggaran. Sebagai penggerak perubahan yang menjadi sentral, tentunya kejadian ini menjadi raport merah atas kinerja bapak K.H Salwa Arifin selama menjabat Bupati di Kabupaten Bondowoso. 

Tidak baik rasanya jika pada tulisan ini hanya monoton menjelaskan tentang keterpurukan di suatu daerah. Satu sisi saya mengakui betul tentang penemuan-penemuan objek wisata baru yang ada di kabupaten Bondowoso yang berhasil diorbitkan oleh bupati Bondowoso selama masa jabatannya. Hal tersebut seperti menjadi suatu harapan baru yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat untuk mendongkrak pendapatan perekonomian masyarakat  di kabupaten. Tetapi perlu penegasan bahwa pemerintah tidak cukup hanya bisa mengorbitkan tempat-tempat pariwisata yang baru dan potensial, namun juga harus dikonsep dengan pengelolaan yang jelas. Bondowoso memiliki pariwisata alam yang sungguh luar biasa, dan beberapa artikel yang saya baca sudah banyak yang menyanjung keindahannya yang bahkan mampu memikat daya tarik setiap wisatawan yang akan berkunjung. Pada tahap ini tentu dibutuhkan yang namanya saling bersinergi dan bekerja sama antara pemerintah dan masyarakat. Mendidik masyarakat menjadi kreatif dan inovatif agar bisa menjadi pelaku sekaligus pengelola wisata yang handal. Apalagi program BONDOWOSO MELESAT yang diusung pemerintah secara penjelasan visi-misi sudah sangat menjanjikan, tinggal bagaimana pelaksanaannya yang sungguh-sungguh. Dengan begitu Pendapatan Anggaran Daerah (PAD) akan mengalami peningkatan yang bisa digunakan untuk membantu pembangunan dan kemajuan daerah di kabupaten Bondowoso. Kembali lagi pada kutipan Erich Fromm “Di masa lalu, pemimpin adalah bos. Namun kini, pemimpin harus menjadi partner bagi mereka yang dipimpin. Pemimpin tak lagi bisa memimpin hanya berdasarkan kekuasaan struktural belaka” artinya kepekaan bupati dan kapasitasnya sebagai pemimpin yang mampu memberikan dorongan yang hebat dan besar dalam menjalankan serta mendorong suatu misi kemajuan dan kesejahteraan dalam masyarakat suatu tempat. Jadi pemimpin tidak hanya sebatas tertulis dalam kerangka struktur pemerintahan suatu wilayah.


التسميات:

13 أغسطس 2021

Dear, Bupati Bondowoso: Mau Melesat Kemana ?

 

Semoga segala hal baik selalu panjang umur - MerawatIngat

Sebagai pemuda yang lahir dan tumbuh besar di Kabupaten Bondowoso, kurang lengkap rasanya jika saya tidak menyampaikan beberapa kegelisahan yang mungkin juga menjadi suatu kegelisahan di benak pemuda yang lain. Berbicara pemuda tentu sangatlah menarik, mengingat mereka adalah pelaku perubahan yang secara ideal menjadi harapan dan jangan sampai pemuda merasa asing dan gabut karena tidak dapat berbuat apa-apa di tanah kelahirannya.

Setiap pemuda melahirkan cerita dan semangat juang yang berbeda, pengalaman dan cara menggapai tujuan yang berbeda-beda sesuai frame berpikir yang mereka punya, baik itu didapat melalui proses sistem pendidikan formal maupun perjalanan empirisnya. Pemuda memiliki kreatifitas yang tinggi dan juga semangat juang yang tentunya kaya akan ide-ide menarik dalam melahirkan sesuatu, tinggal bagaimana pemuda itu mendapatkan dukungan secara utuh oleh faktor pendukungnya.

Berkaitan tentang pemuda, lalu pemuda yang seperti apa dan bagaimana, dalam tulisan ini saya lebih fokus untuk menyorot pada mereka para pemuda di desa agar mendapat pembinaan yang tepat serta dengan kultur yang baik agar bisa memaksimalkan bakat dan potensi mereka untuk tersalurkan sebagaimana takaran idealnya. Tujuannya dapat memberikan banyak dampak terhadap visi-misi Bondowoso Melesat yang diusung pemimpinnya.

Sejauh ini yang hanya bisa saya tengkap perihal visi Kabupaten Bondowoso yakni “Melesat” dimana istilah “Melesat” jika dikutip dari tulisan yang diuraikan oleh Bappeda mengakatakan bahwa “Melesat” itu suatu kondisi dimana terwujudnya masyarakat mandiri ekonomi, lestari sejahtera, adil dan terdepan dalam bingkai iman dan taqwa. Dan penekanannya dimulai dari membentuk masyarakat desa yang berkemajuan, karena melalui desa melesat percepatan pembangunan Kabupaten Bondowoso akan cepat mencapai keberhasilan sesuai dengan komponen misi sebagai Bondowoso “Melesat”.

Namun jujur saja secara subjektivitas saya belum menemukan maksud tujuan yang nyata dari jargon ini dalam perubahan yang cepat di Bondowoso, dan semoga saja benar-benar terlaksana untuk masyarakat adil makmur.

Terasa aneh sesuatu yang diwacanakan dengan baik, namun tidak dilakukan secara maksimal. Yang menjadi tanda tanya dalam benak saya. Pertama, konsep seperti apa yang pemerintah akan terapkan dalam memajukan masyarakat desa. Kedua, Jangan-jangan belum ada konsep, sehingga sampai hari ini belum terlihat hasilnya. Sebab beberapa desa masih belum menghasilkan perubahan yang spesifik dari program Melesat tersebut, khususnya di kecamatan tempat tinggal saya di Prajekan.

Satu sisi, saya tidak bisa menyalahkan ataupun mendikte kinerja bupati secara penuh, karena hal itu terlalu berlebihan dan tidak baik, yang perlu saya lakukan hanya bagaimana saya selalu positif dan optimis pada apa yang menjadi niat baik dan mendukung penuh kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahan di Bondowoso.

Namun jangan disalahkan apabila setiap pemuda memunculkan geliat tanya “Ada Apa?” atau “Mengapa ya?” Sebagai contoh sejak saya SD sampai hari ini, desa saya hanya begitu-begitu saja (tidak ada perubahan) ntah karena kehabisan kreativitas atau ntah karena faktor lain, yang jelas Melesatnya dalam hal apa?

Sejauh ini program-program pemerintah di kabupaten sudah cukup bagus secara tujuan yang hendak dicapai, meskipun masih kelabakan dalam merealisasikannya. Bahkan saya pun kadang bingung dengan program kerja yang sedang dijalankan, mungkin disebabkan karena ketertinggalan informasi, sehingga semua terlihat seperti absurd dan tidak ter-arah.

Pemuda dan Perpustakaan Desa

“Soal Melesat, serahkan saja pada pemuda. Namun, Perlu di dukung dan dibina”

Saya awali sabjudul ini dengan pertanyaan “Pemuda bisa apa?” pertanyaan sederhana namun butuh jawaban mendasar, tapi yang jelas berbeda dengan pemuda macam saya yang hanya bisa bucin terus menerus dan membuat tulisan yang berisikan pesan gelisah. Tenang saja, semua tujuan tulisan saya atas dasar kepedulian sebagai pemuda. Dalam menuju suatu peradaban maju, sekali lagi saya ingin sampaikan bahwa peran pemuda sangat besar pengaruhnya terhadap keberlangsungan kemajuan daerah. Jika pemuda di desa tidak dirawat dan dibina dengan baik, jangan harap Visi Bondowoso Melesat menjadi kenyataan sesuai dengan visi yang dicanangkan.

Pemuda harus bisa menciptakan budaya peradaban yang sehat  dengan dibarengi antusias pemerintah, semisal dengan sukarela pemerintah menghadirkan perpustakaan desa lalu dengan adanya perpustakaan desa, ilmu dan pengetahuan dapat dengan mudah diakses dan diserap (dengan hal tersebut kita punya aset SDM yang berkualitas menuju Bondowos Melesat).

Mengapa harus perpustakaan, karena tidak cukup hanya sebatas pendidikan formal saja. Pemuda desa juga perlu yang namanya kultur peradaban yang punya progres baik, mengingat negara-negara maju dalam indikator mencapai kesuksesannya menekankan seberapa besar pemerintahannya mampu mencerdaskan masyarakatnya, baik berupa dukungan penunjang maupun himbauan yang sifatnya menyerukan. Maka hal ini perlu pemerintah tiru tanpa harus menghilangkan esensi maknanya sekalipun dalam sekala kecil.

Jika setiap pemuda hidup dan tumbuh besar dari kultur budaya yang bagus, maka kemungkinan besar yang akan terjadi bahwa daerah tersebut akan terjadi suatu kemajuan minimal SDM di daerah kita sudah berpengetahuan, sehingga dapat mampu bersinegi dengan niat baik pemerintahan.

Jika pengetahuan pemuda sangat terbatas tentu yang terjadi nalar dan daya kreativitas pemuda juga akan ikut dipengaruhi. Seperti dalam ajaran ilmu psykologi dalam memandang setiap individu yang hidup dalam lingkungan pencopet kemungkinan besar dia akan menjadi pencopet. Sebaliknya, jika lingkungannya baik maka setiap individu kemungkinan besarnya juga baik.

Adanya Perpustakaan desa, setiap pemuda tidak akan lagi galau dan tertinggal secara pengetahuan dan juga bisa memacu kreativitasnya. Saya sangat ingat ketika saya masih SMA dalam mencari buku bacaan betapa sulitnya, mengingat bahwa perpustakaan di sekolah terbatas dan di Bondowoso tidak ada toko buku. Betapa susahnya menjamah pengetahuan dengan sumber bacaan.

Jika ditanya mengapa dengan ilmu pengetahuan manusia bisa bertindak, bayangkan saja jika tindakan  kaum pemuda krasak-krusuk dan bahkan tanpa pikir panjang, yang terjadi adalah daerah akan selamanya tertinggal, karena budaya baik didalamnya memang tidak sungguh-sungguh dibentuk dan diciptakan. Jika setiap pemuda belum bisa berbuat apa-apa, ada kewajaran sekalipun itu tidak bisa dianggap benar, dan perlu digaris bawahi bahwa kreativitas pemuda hidup apabila ia tersentuh nikmatnya budaya pengetahuan, maka adakan perpustakaan desa untuk pemuda. Ini suatu langkah kecil dari pemikiran kecil (bukan kecil pemikiran ya…), namun dampak kedepannya sangat besar.

Mau Melesat Kemana?

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata “Melesat” memiliki makna memental atau terlepas dengan cepat atau  juga dengan arti sinonimnya sama dengan melejit. Dalam benak pikiran saya kepemimpinan Bupati  pada periode ini akan membawa Kabupaten Bondowoso menjadi daerah dengan perubahan yang cepat dan melejit dalam setiap kemajuannya (acuan melesat), namun perlu digaris bawahi bahwa dalam kurun waktu lima tahun kepengurusannya, untuk menjadikan Bondowoso Melesat adalah waktu yang sangat kurang jika kita mau berbicara jujur dengan melihat realitas keadaan Bondowoso per hari ini (lebih tepat jika menurut saya lima tahun untuk tujuan jangka menengah). Namun, saya akan tetap selalu percaya dan optimis sekalipun Kabupaten Bondowoso saya amati terlihat kering ide dan inovasi.

Jika saya amati tulisan Kepala Sub Bidang Kepangkatan dan Pensiun BKD Bondowoso yang dimuat di kolom opini Radar Jember, bahwa data statistik menunjukkan bahwa di bidang pertanian Bondowoso memiliki sawah yang cukup luas dengan potensi luas tanam saat musim hujan dan kemarau, sehingga potensi lahan selama satu tahun musim tanam cukup menjanjikan produksi yang melimpah ditambah dengan Bondowoso dalam bidang ekonomi, menurut update data terbaru ada kurang lebih 38 ribu UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah) yang siap menjadi tonggak ekonomi Bondowoso.

Namun, untuk memperbaiki ruang PKL di alun-alun Raden Bagus Asra saja pemerintah belum cukup serius, seperti apa yang telah diberitakan oleh petisi.co pada bulan Maret lalu, sehingga menyebabkan kata “Melesat” menjadi kontradiksi dengan realita yang ada.

Banyak yang sebenarnya ingin diurai terkait Visi “Melesat”, apalagi baru-baru ini jumlah pengangguran dan angka kemiskinan di Bondowoso saling berkejaran (Melesatnya dimana?), namun tidak baik juga jika melulu mempermasalahkan apa yang telah terjadi, apalagi sampai dibesar-besarkan. Namun saran yang perlu saya tinggalkan dalam tulisan ini, mungkin lebih pada kita tentukan konsep yang tepat dengan pembangunan Kabupaten Bondowoso dengan cara yang benar-benar jelas dan ter-arah, jangan sampai visi “Melesat” hanya sebatas jargon tanpa tujuan yang nyata. Maksud jelas disini adalah dapat dirasakan langsung dampaknya bagi kesejahteraan dan kemajuan didalam kehidupan masyarakat. Semua ini menjadi PR kita bersama dan perlu diselesaikan dengan langkah-langkah yang tepat.

Saya sepakat dengan argumen yang dibangun oleh bapak M. Munir selaku Kepala Sub Kepangkatan dan Pensiunan BKD Bondowso, bahwa kita semua butuh keseriusan komitmen secara struktural bahwa kepemimpinan bupati dan wakilnya harus bisa menunjukkan sinergi yang kuat dan wajib didukung oleh kinerja birokrasi yang handal untuk menjawab tantangan Bondowoso “Melesat” harus dengan karya nyata, bukan hanya dengan kata-kata, agar tidak menjadi suatu blunder yang dalam perspektif saya “Mau Melesat kemana?” 


التسميات:

12 أغسطس 2021

Curhat: Pak Menteri, Kami Jenuh !





Pendidikan dan ilmu pengetahuan merupakan unsur penting yang harus ada didalam setiap diri manusia tanpa harus memandang  gender, agama atau stratifikasi sosial lainnya. Siapa aja boleh belajar kepada siapa saja, baik secara teoritis maupun perjalanan empiris seseorang yang bisa dimaknai sebagai suatu pembelajaran dan hikmah. Dalam subjektifitas penulis, memandang fungsi pendidikan akan mengarah pada fungsi membangun serta mengembangkan minat dan bakat individu demi kepuasan pribadi dan kepentingan umum, yang nantinya mampu membentuk karakter sesuai cita-cita dalam karakteristik manusia ber-Pancasila. Hal ini sejalan dengan dengan UU No. 20 Tahun 2003 pasal 3 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa:

“Tujuan pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”

Dalam mewujudkan tujuan pendidikan tentu sangat diperlukan perangkat dan pendukung yang benar-benar maksimal menjalankan sistem pada pendidikan tersebut. Akan tetapi pada abad ini kita berada di masa-masa sulit,  mengingat tahun ini adalah tahun kedua sejak wabh COVID-19 mewabah di Indonesia dan saya sebagai seorang siswa pasti merasakan hal sama seperti siswa pada umumnya, yakni sama-sama dalam merasakan jenuh yang luar biasa dengan adanya COVID-19 ini. Pendidikan tahun ini sangatlah berbeda, perbedaannya pun sangat signifikan. Sebagai seorang siswa yang sedang menempuh pendidikan dijenjang sekolah menengah atas (SMA), dalam menerima materi pelajaran harus dikurangi dari segi waktu (jam pelajaran) dan keterbatasan ruang yang hanya mengandalkan perantara aplikasi bernama WhatsApp yang digunakan untuk melangsungkan pembelajaran daring yang dibawakan oleh masing-masing guru mapel setiap harinya.

Seorang guru dengan segala upaya, berusaha agar pendidikan tetap bisa terlaksana meskipun dalam situasi yang saya yakini juga merasakan banyak kesulitan mengingat para guru juga baru pertama kali memiliki pengalaman untuk melaksanakan pembelajaran dengan sistem daring, belum lagi adanya perubahan kurikulum dan metode belajar pun juga harus berubah. Disisi lain siswa mengalami keterbatasan waktu dan ruang, menyebabkan setiap siswa harus berpikir lebih keras yang membuat pikiran manusia harus bekerja dua kali lebih melelahkan untuk memahami setiap materi-materi pelajaran yang ada dengan waktu yang begitu singkat. Belum lagi jika KBM yang berlangsung berjalan dengan tidak efektif, hal demikian semakin membuat proses belajar tidak menemukan maknanya. Keterbatasan waktu dan jarak serta cara penyampaian yang kurang efisien benar-benar membuat siswa jenuh.Yang menjadi kegelisahan saya disini, tentang kapan sekolah bisa buka lagi dan setiap siswa bisa belajar dengan layak dan kondusif. Pandemi memang tidak bisa ditebak arahnya, namun satu hal perlu diketahui bahwa tidak mungkin generasi bangsa Indonesia itu tumbuh dengan cara sistem pendidikan seperti hari ini, bagaimana psikososial dan mental kami ? hal ini yang perlu diperhatikan jika sampai COVID-19 menyebabkan panjangnya waktu pembatasan sosial. Jangan sampai pemerintah lengah dan abai, karena resiko yang ditanggung untuk melahirkan generasi harapan bangsa sesuai tujuan pendidikan nasional akan kecil kemungkinan terealisasi.

Bagaimana dengan Mental kami ?

        Pada bulan Maret 2019, sekolah mulai memberlakukan sistem pembelajaran daring atau online learning dalam strategi belajar untuk menyikapi banyaknya tingkat kasus positif COVID-19. Kebijakan demi kebijakan diambil untuk menangkal Corona Virus mulai dari kebijakan PSBB, PPKM Mikro, PPKM darurat, dan sekarang kita berada di masa-masa PPKM Level 4 yang semua kebijakan tersebut menjadi strategi mengurangi untuk kluster pernyebaran virus selama perjalanan dua tahun lebih sejak munculnya Corona Virus di Indonesia sejak Maret tahun 2019. Namun perlu digaris bawahi, bahwa hal tersebut belum menemukan hasil yang baik dalam menuntaskan kasus positif COVID-19 bahkan rumah ibadah pun ikut-ikutan ditutup akan tetapi hasilnya sama saja bukannya berkurang malah semakin bertambah. Tidak perlu penulis sertakan data, karena setiap media dan bahkan satgas COVID-19 pun menyuguhkan data yang valid.

      Dalam situasi yang genting tersebut, tentunya juga akan berimbas pada dunia pendidikan yang menyebabkan sekolah tidak bisa berfungsi sebagaimana fungsinya. Saya tahu bahwa pemerintah khususnya pak menteri pendidikan mengedepankan kesehatan dan keselamatan peserta didik, keluarga, dan masyarakat secara umum yang pada problem ini masih menjadi prioritas utama yang harus dipertimbangkan selama masa pandemi. Jika pembatasan sosial masih berlanjut dengan jangka waktu yang lama, maka tidak menutup kemungkinan setiap anak bahkan orang dewasa akan mengalami penyakit mental akibat pandemi. Seperti yang disampaikan oleh Hendriati Agustiani seorang pakar psikologi dari Universitas Negeri Padjajaran yang mengatakan bahwa situasi pandemi dapat memunculkan ketakutan yang berlebihan, stigmatisasi dan xenophobia yang merupakan respon terhadap situasi sulit. Diikuti juga dengan kemungkinan adanya perilaku maladaptif, emosi dan reaktif defensive.

        Tidak sampai disitu saja, dengan keadan darurat nasional yang diakibatkan oleh COVID-19 bukan tidak mungkin setiap siswa dan bahkan orang tua akan mengalami turunya motivasi dalam semangat belajar dan laku hidup bagi orang tua. Pada tahap ini perhatian mental juga perlu menjadi titik yang harus diperhatikan. Selain itu kegiatan belajar dari rumah berkaitan dengan ketidakpastian dan kecemasan dikarenakan pembatasan terkait aktivitas fisik dan kesempatan bersosialisasi di sekolah. Rutinitas dapat terganggu karena tidak adanya kegiatan yang terkonsep dan tersistem seperti ketika setiap siswa bisa belajar di sekolah. Siswa akan cederung menjadi irritable (lekas marah), clingy (melekat), mencari perhatian dan lebih tergantung pada orangtua karena adanya pergeseran rutinitas atau dalam kata lain jika pandemi berlanjut dalam jangka waktu yang lama maka akan menjadi kecenderungan yang menyebabkan mengalami penyakit mental yang juga akan menjadi ancaman yang tidak kalah bahaya nya dari COVID-19.


Tentang Penulis:

Penulis bernama lengkap Vania Callista Artanti, seorang siswi di SMA Negeri 1 Prajekan dari Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur. Penulis lahir pada tanggal 01 Agustus 2004. Saat ini aktif sebagai penulis opini di beberapa media.



التسميات:

11 أغسطس 2021

Puisi Satire: PKI atau ORBA

 





التسميات:

10 أغسطس 2021

Video: Review Buku Berdamai Dengan Diri Sendiri (Seni Menerima Diri Apa Adanya) - Mutia Sayekti



    Buku “Berdamai dengan diri sendiri: Seni menerima diri apa adanya”, ditulis oleh Muthia Sayekti, seorang pengajar di sebuah sekolah swasta di desa daerah Juwiring, Klaten, Jawa Tengah. Perempuan kelahiran Semarang 12 Desember 1993 ini lulusan sastra Inggris di Universitas Sebelas Maret (UNS), Solo. Dia sudah menyukai literasi bahasa baik secara lisan maupun tulisan sejak kecil. Penasaran seperti apa isi bukunya, simak video review Buku "Berdamai Dengan Diri Sendiri (Seni Menerima Diri Apa Adanya)" dari Mutia Sayekti,




 

التسميات: