11 مارس 2018

Lentera Merah: Revitalisasi Kota Pendidikan Melalui Perpustakaan Jalanan




Status kota pendidikan tentu merupakan sebuah daerah dengan kualitas sumber daya manusia yang cerdas kritis serta didukung dengan budaya-budaya peningkatan inelektual dengan berbagai kegiatan positif yang membangun sebuah peradaban. Sejak di bangku sekolah kita sering mendengar status kota pendidikan yang disandang oleh Jogjakarta tentu dalam benak kita kota Jogjakarta banyak melahirkan pemikir-pemikir hebat seperti Ki Hajar Dewantara misalnya, tentu bukan hanya sebatas itu jika kita main-main ntah sekedar liburan atau ada tugas keluar kota menuju Jogjakarta kita akan disuguhkan banyak hal menarik yang memberikan banyak  edukasi kepada kita semisal di Jogjakarta banyak penggiat-penggiat membaca buku dengan membuka perpustakaan jalanan bahkan di daerah tersebut harga buku-buku bacaan yang tersedia di tempat-tempat buku sangatlah terjangkau hingga sumber belajar dan pengemangan wawasan sangatlah dimanjakan oleh lingkungan yang sengaja dibentuk untuk menguatkan kualitas intelektual, yang terjadi di kalangan umum sangat mudah mendapakatkan ilmu pengetahuan hingga daya nalar krittis mampu memberikan sebuah kontrol dan mengembangkan potensi budaya daerahnya, nyatanya hari ini Jogjakarta menjadi teladan untuk basil kultur pendidikan, apa yang tidak ada di daerah ini baik seni, budaya, wisata, bahkan dunia akademisi paling berkembang di Jogjakarta maka layak jika kota Pendidikan berhasil disandang oleh daerah yang istimewa ini.

Lantas bagaimana dengan kondisi di Bali hari ini ? tentu potensi Bali lebih menjanjikan jika dilihat dari hal wisata alamnya dan Kesenian budaya daerahnya dibanding Jogjakarta yang notabene juga kaya akan budaya tentu perbandingan ini berdasarkan fakta rill realitas bahwa bule-bule yang datang berwisata lebih kenal Bali bahkan daripada Indonesia sendiri. Maka tak heran jika statemen Walikota Jogjakarta sendiri pernah menyampaikan kepada media bahwa Jogjakarta harus bercermin pada Bali dengan tata kelola yang baik tentang wisata. Dalam hal ini tentu kita patut cermati antara Bali dan Jogjakarta sama-sama belajar menciptakan yang namanya mengembangkan wilayahnya Bali harus bercermin pada Jogjakarta tentang kultur budaya pendidikan sedangkan, Jogjakarta bercermin terkait pengelolaan Pariwisata yang ada di Bali. Dari itu semua tentu kabupaten kecil yang berada di sebelah utara di pulau Bali harus mengambil kesimpulan dan sikap  untuk belajar dengan didasari kemauan untuk maju.

Di Jogjakarta sangat menjamur yang namanya Toko Buku dan Perpustakaan, tak hanya perpustakaan yang dikelolah oleh pemerintah atau sebuah lembaga-lembaga perbedaya akan tetapi perpustakaan Jalananan yang di galang oleh pemuda-pemuda yang mengemban misi mencerdaskan kehidupan bangsa mengingat rata-rata orang Indonesia dalam membaca buku setiap tahunnya sangat sedikit rata-rata 5 sampai 10 buku orang Indonesia membaca hingga tamat sedangkan di Eropa dan jepang mereka hampir rata-rata 25 buku habis di baca dalam setahun, jika dilihat dari manfaatnya sudah sangat jelas jika membaca buku adalah kebiasaan yang sangat membawa manfaat untuk mengenal dunia dan isinya, kalau diibaratkan lagi pentingnya sebuah buku itu seperti kita punya harta karun persis yang disampaikan oleh sastrawan putu wijaya dalam monolognya.

Di singaraja khusus perpustakaan jalanan tidak menjamur seperti Jogjakarta bahkan Toko-toko buku yang memfasilitasi buku-buku bagus tidaklah banyak di singaraja hanya terdapat 2 toko buku yang berpusat di kota, untuk perpustakaan hanya ada 2 perpustakaan yakni perpustakaan provinsi Bali dan Perpustakaan Daerah/Kabupaten dan baru satu Perpustakaan Jalanan yang bernama Lentera Merah yang digalang oleh mahasiswa-mahasiswa sebagai bentuk dari amanah preambul UUD 1945 Bab ke-empat untuk senantiasa ikut membantu mencerdaskan kehidupan bangsa. Lentera Merah dalam pengertiannya tentu memiliki Filosofi sendiri dalam setiap komposisi katanya yakni Lentera yang berarti lampu atau cahaya yang menerangi atau mencerahkan dan Merah secara arti memiliki makna Berani atau sebuah bentuk perlawanan jika disederhanakan dalam sebuah pengertian atau pemaknaan utuh tentu Lentera Merah yang basisnya adalah sebuah perpustakaan Jalanan yang nantinya mampu membantu masyarakat daerah singaraja untuk menambah wawasan atau mencerahkan wawasannya dan perlawanan sendiri tentu bukan perlawanan yang memakan korban atau sebuah pemberontakan berdarah namun perlawan itu sendiri ialah bentuk kita untuk melawan kebodohan dan merawat ingat bahwa kita manusia Indonesia adalah bangsa yang berperadapan sesuai gambaran yang ditulis oleh penulis asal Brasil dengan judul bukunya yakni “Atlantis yang Hilang” dimana buku tersebut menceritakan asal mula peradaban itu lahir hingga kita manusia Indonesia masuk dalam cirri-ciri dari apa yang digambarkan oleh Andrea Dos Santos.

Perpustakaan jalanan tentu akan memiliki pengaruh yang menimbulkan sebuah perubahan semisal dari pemuda-pemudi yang ada di singaraja mempunyai yang namanya komunitas diskusi dan belajar yang dimana setiap kegiatannya dapat melakukan bedah buku dan diskusi-diskusi tentang keadaan Negara hari ini hingga nantinya komunitas dalam lentera merah ini mampu menjadikan setiap kegiatannya menjadi sebuah tulisan untuk mengajak atau menyerikan pentingnya membaca untuk memberikan semangat membaca kepada pemuda-pemudi sebagai generasi bangsa. Tentu hal ini dalam subjektivitas penulis merupakan sebuah bentuk revitalisasi terkait keberadaan SIngaraja sebagai kota Pendidikan, tentu menyandang kota pendidikan itu tidaklah biasa-biasa saja banyak indikator yang harus kita perhatikan semisal kultur budaya pendidikan, rasa Ingin tahu masyarakatnya yang sangat tinggi, melahirkan intelektual-intelektual cerdas, fasilitas edukasi yang memanjakan untuk membaca dan belajar, sumber daya manusianya yang berkualitas dan lain-lain yang berhubungan dengan pendidikan itu sendiri. Melalui Komunitas Lentera Merah dengan gebrakan membuka perpustakaan jalanan nantinya diharapkan mampu memberikan sumbangsih atau berbagi media belajar dengan adanya buku-buku yang disediakan untuk membaca dan merawat ingatnya. Bukan tanpa tujuan masyarakat cerdas tentu menyokong demokrasi yang sehat karena dalam demokrasi harus terjalin yang namanya kontrol sosial baik secara horizontal maupun vertikal sehingga menciptakan keadilan dan kesejahteraan jika masyarakat yang menganut sistem demokrasi tetapi tidak didukung oleh masyarakat yang cerdas tentu roda kehidupan demokrasi sehat akan cacat. Maka dari itu pancasila menempatkan Bangsa cerdas di point pertama dalam identitas bangsa setelah memeluk keyakinan.

            Lentera Merah bisa dikatakan sebuah revitalisasi untuk mengembalikan budaya pendidikan di Singaraja, dengan hal tersebut tentu mampu sejalan dengan amanat pancasila. Revitalisasi mengandung arti pembaharuan sesuatu yang sempat hilang atau memudar hingga dihadirkan kembali. Singaraja tentu merupakan kota pendidikan maka dengan ini adanya Lentera Merah dengan gerakan perpustakaan jalanan diharapkan mampu mengembalikan citra kota pendidikan di singaraja. Pasalnya di Singaraja Sendiri menurut data yang dikeluarkan oleh Dinas Pendidikan dan Kepemudaan Provinsi Bali mengatakan bahwa Kabupaten Buleleng menduduki ranking pertama paling banyak anak-anak putus sekolah tentunya sangat kontradiktif dengan status yang disandang singaraja sebagai kota pendidikan dengan adanya Lentera Merah yang menyediakan sumber-sumber belajar diharapkan mampu menjadi solusi dan manfaat bahkan jika perlu ada lentera-lenteta lain yang punya gerakan sama untuk membantu mengembangkan kualitas Sumber daya manusia di Kabupaten Buleleng. 

Indra Andrianto/Andree Alphabet
Mahasiswa Kejar Wisuda
Suka Bingung disela-sela gelisah.
#Merawat_Ingat
 

التسميات:

Jangan Khawatir Soal Perempuan, Tuan Karl Marx !

Sumber Gambar: Google Images

kemajuan sosial dapat diukur oleh posisi sosial perempuan”Karl Marx


Dalam sebuah disiplin ilmu sosiologi tentu kita sudah mengenal nama-nama tokoh sosiologi Klasik seperti Emile Durkheim dan Max Webber yang menjadi rujukan dasar sebuah paradigma masyarakat sosial, dari keduanya tersebut lahirlah sebuah tokoh peralihan bernama Karl Marx seorang Prussia (Jerman Timur) yang saat ini menjadi negara Polandia sebagai bapak sosiologi modern yang mampu menyatukan konsep Durkheim dan Webber dalam kajian ilmu sosiologi modern yang bahkan sampai hari ini pengaruh pemikiran marx pada dunia masih terasa bukan hanya dalam sekup internal negara namun secara global dua ideologi sayap kanan dan kiri masih bersiteru  secara dingin. Dalam pengaruh pemikiran Karl Marx tentu kita ketahui dalam setiap politik praktisnya tidak lepas dari kajian tentang bagaimana memperjuagkan kelas-kelas sosial.


Kali ini tentunya kita tidak sedang membahas tentang Marxisme Ortodoks, Marxisme Analitis ataupun Marxisme Postmodernisme namun yang menarik ialah kajian terkait Marxis Feminisme. Dalam sebuah buku biografi Karl Marx yang ditulis oleh Muhammad Ali Fakih kebetulan beliau satu saku sama saya mengatakan bahwa Marxis Feminisme merupakan bagian dari cabang Feminisme yang memiliki fokus pada penyelidikan tentang cara-cara bagaimana perempuan ditindas oleh Sistem kapitalisme. Pendapat tersebut tentu merujuk dengan apa yang sudah ansich disampaikan dalam buku Manifesto of the communis party yang terbit pada tahun 1848. Tentu Marx dalam hal ini  meletakkan hal-hal dasar tentang penindasan dan Perempuan.


Saat perjalan Karl Marx ke Perancis tentu marx melihat perempuan bekerja selama 12 sampai 16 Jam dalam sehari di sebuah pabrik Industtri dan kebun anggur, oh betapa prihatinnya si Karl Marx melihat kondisi yang sedemikian sengsaranya perempuan masa itu di Prancis. Sepintas perjalanan karl marx dari Prusia yang melanjutkan perjalanan intelektualnya ke Prancis lalu bertemulah disana dengan para sosialisme Purba seperti Ludwig Beurbach dan Freiderich Englesh yang sebenarnya adalah young Hegelian (penerus perjuangan GWF Hegel), semakin deras aliran darah Karl Marx untuk peduli terhadap nasib kaum buruh khususnya perempuan pada saat itu yang sebenarnya sejalan dengan basic Karl Marx yang sangat membidangi sastra Humanisme.


Freiderich Engels menganalisis fenomena sosial yang terkait dengan moralitas, penindasan gender terkait erat dengan penindasan kelas. Relasi antara lelaki dan perempuan dalam masyarakat, mirip dengan hubungan kelas Proletar dan kelas Borjouis. Melalui fenomena ini subordinasi perempuan merupakan fungsi dari penindasan kelas, yang harus dipertahankan (seperti rasisme) untuk melani kelas pemodal dan kelas penguasa. Hak kerja antara laki-laki dan Perempuan itu dibedakan. Kapitalisme menolak membayar pekerja rumah tangga perempuan. Ia hanya bisa makan dan hidup jadi babu tanpa gaji (layaknya binatang peliharaan), berbeda dengan pekerja rumah tangga laki-laki. Analisis Engles ini ditulis oleh Brown Heather A dalam bukunya “Marx on Gender and The Family” 


Kaum feminise Marxis berpendapat dari analisis Engels diatas berpendapat bahwa mengabaikan perempuan dalam kerja-kerja produktif erarti bahwa ranah-ranah produksi, baik dalam publik maupun swasta berada dibawah kontrol kaum laki-laki. Hal ini disepakati sebagai sebuah bentuk penindasan terhadap kaum perempuan. Beberapa Feminisme marxis mengajukan mereka untuk diperjuangkan dalam ranah pekerjaan rumah tangga dalam sistem perekonomian kapitalis, sederhananya perempuan yang biasanya mencuci, memasak dan sebagainya itu mendapatkan kompensasi berupa upah. Tentu jika kita sederhanakan kemauan kaum marxis ialah pekerjaan perempuan diakui dan dihargai di ruang publik. Tetapi jika saya lihat ini hanya sebatas wacana keinginan kaum Marxis Feminisme maka tahun 1972 Feminisme Internasional tterlibat meluncurkan Kampanye Upah Internasional untuk pekerjaan rumah tangga tepatnya di Italia pelopornya adalah sekelompok perempuan Italia.  Bahkan penulis pada zaman itu juga ikut menyuarakan seperti Selma James dan Dalla Costa dan lain-lain. Meskipun gerakan seperti ini tak bertahan lama dan bisa dikatakan mengalami kegagalan namun hal ini dianggap sebagai sebuah wacana penting sebagai bentuk passion sebuah perubahan kaum pekerja perempuan.


Di Eropa perhari ini Justru mengutamakan hak-hak perempuan sehingga perlindungan hukum bagi kaum perempuan di segala bidang sangat di intenskan, intens dalam artian yakni keadilan terhadap sesama manusia. Istiah populer hari ini di Eropa ialah First Women yang mengandung arti utamakan perempuan atau perempuan yang utama betapa mulianya kaum perempuan diperlakukan, sedangkan di Indonesia sendiri lebih luar biasa sekali dengan munculnya pelopor perempuan cerdas bernama R.A  Kartini yang memunculkan gagasan Eman Sipasi perempuan yang awalnya perempuan Indonesia hanya sebatas Dapur, Ranjang dan Papan kini mampu merubah paradapan perempuan Indonesia mengalami paradigma drastis menjadi sosok yang produktif dan terampil sehingga yang awalnya hanya sebatas pekerjaan mengurus rumah tangga dan melayani lelaki (suami) kini mereka dapat aktif berkarir layaknya kaum laki-laki karena memiliki hak yang sama maka jangan heran jika Ibu Megawati pernah menjadi soerang presiden yang memimpin didalamnya ada kaum laki-laki, betapa berjasanya R.A Kartini memperdayakan kaum perempuan menjadi lebih baik dengan buku terbitannya “Habis Gelap, terbitlah Terang”.


Pada Tahun 2013 Federecci mendesak gerakan feminimisme dengan cara mereformasi kelembagaan, Mereformasi peraturan menjadi sebuah payung hukum yang adil sehingga terjadi keharmonisan dalam tatanan hidup masyarakat baik, ntah hal itu dipimpin oleh kapitalis sekalipun. Jadi dapat dipastikan kegelisahan Marx di masa lalu tidak perlu dikhawatirkan hari ini karena kita sudah mendapatkan solusi dari niatan baik layaknya Marx.





التسميات:

Cinta: Ketulusan, Suka-suka, Seks?


"Cinta adalah sumber segala sesuatu. Dunia dan kehidupan muncul karena kekuatan yang bernama cinta. Cinta adalah inti dari segala bentuk kehidupan di dunia" - Jalaludin Rumi


Dalam sebuah mata kuliah antropologi tentu tak lepas dari yang namanya Manusia dan Budaya namun yang membuat sedikit kita tersenyum saat dosen memasuki pembahasan terkait Bab “Cinta dan Kasih”. Sebelum mengenal kajian Antropologi mungkin tak ada mata kuliah atau mata pelajaran di sekolah yang secara komprehensif atau blak-blakan membahas persoalan Cinta dan Kasih namun saat saya duduk di Semester II, ilmu Antropologi menyodorkan tentang Cinta dan Kasih secara nyata. Kalau kita membaca tulisan Malik Ridwan Fauzi di Kompasiana pasti bertemu kalimat ini “Antropologi Cinta” istilah yang mengada-ngada jika sebagian dari kita tak mengenal apa itu Antropologi. sementara Cinta memiliki pengertian uraian perasaan tentang kasih atau sayang. Cinta mau tak mau, suka tidak suka merupakan hal menarik dan indah untuk dimaknai sekalipun sosok Hitler yang garang dan Sadis pada saat perang dunia berlangsung sebenarnya mempunyai kumpulan Cinta dalam nuraninya meskipun dalam takaran yang berbeda dengan manusia-manusia yang lain, berbeda juga dengan Sapardi Djoko Damono mengartikan cinta bersama Puisinya yang berjudul “Aku Ingin” dan Bahkan Mantan Presiden ke-3 B.J Habibie yang nampak sangat menjunjung tinggi cintanya kepada istrinya Ibu Ainun hingga bait-bait puisinyapun mengucur membuat sebagian orang terharu apalagi kita ketahui bersama makam ibu ainun disamping kanannya terlihat kosong, ini sengaja dikosongkan karena tempat tersebut nantinya akan menjadi tempat makam untuk Bapak B.J Habibie jika meninggal dunia tujuannya agar mereka berdua tetap selalu bersama berdampingan dengan kekuatan cinta yang dimiliki. Tentu ini masuk pada takaran cinta yang tulus terhadap lawan jenis yang sangat beliau kasihi dan disayangi. Namun perlu kita maknai secara luas bahwa cinta tidak hanya sebatas untuk lawan jenis meskipun sebagian masyarakat awam menganggap bahwa Cinta hanya terpaku pada mereka yang mempunyai perasaan suka atau suka terhadap lawan jenis. Namun terhadap sesama jenis kita juga bisa memiliki cinta akan tetapi dalam tanda kutip bukan perkara negatif yang mengara pada Gay atau Homo kalau ini bukan soal cinta namun ada gangguan pada psikis manusia, cinta bisa kita maknai mencintai Negara, Mencintai Bangsa, mencintai Agama, terutama mencintai Orang Tua dan Tuhan kita yang  memberi rasa cinta itu sendiri.

Hari ini Cinta membuat sebagian orang tidak lagi berpikir rasional, di siaran Televisi lokal misalnya banyak sekali mempertontonkan soal drama cinta-cintaan, namun apakah drama cinta yang dipertonkan di kalangan publik itu sudah ideal dan mendidik sampai mendapatkan pesan moral untuk publik? Sehingga tidak menghadirkan cerita seperti banyaknya kasus-kasus yang menyebabkan citra Cinta itu sendiri mengalami kemiringan makna semisal, ada beberapa dari mereka bunuh diri karena cintanya yang begitu rumit atau bunuh diri karena cintanya ditolak. separah itukah keberadaan cinta? Hingga menghilangkan nyawa seseorang. Memang fokus analisanya tentang cinta lawan jenis karena di bagian ini paling sering terjadi perkelahian, pertengkaran dan bahkan saling bunuh jika demikian cinta bukan lagi soal kasih dan sayang namun ujung-ujungnya menebar kebencian. Hal-hal semacam ini tentu  bisa saja berdampak pada mindset berpikir generasi muda kita bahwa ogah mengenal Cinta, tentu yang dimaksud mengenal cinta dengan lawan jenis dengan alibi fokus Study atau alasan sebagainya. Jika seperti ini yang terpintas dalam benak kita cinta sudah keluar dari maknanya yang arif dan berubah menjadi momok yang akan merusak padahal merusak atau tidaknya sebuah cinta  itu ada pada sikap dan kedewasaan seseorang dalam memerankan kisah cinta tersebut. Maksud lain ialah jangan sampai cinta dikambing hitamkan dalam keterpurukan atau rusaknya mental dan karakter sesorang karena hadirnya dan arti cinta itu sendiri tidak mengarah pada hal itu.

Contoh kongkrit cinta dapat membawa kita pada sebuah kebaikan saat teman saya yang hidupnya berantakan kenal narkoba dan alkohol mencintai sosok perempuan lemah lembut baik dan religius, siapa sangka si perempuan akan menerima teman saya yang berantakan namun karena cinta itu hadir dengan sendirinya mereka akhirnya bersama, si perempuan mengajarkan tentang nilai-nilai agama dalam setiap kebersamaannya hingga teman saya sadar dan merasakan malu akan kondisinya dihadapan si perempuan tersebut, hingga keluar statement dalam dirinya “Cinta jangan dimaknai hanya sebatas kebersamaan, mesra dan nafsu jika seperti ini yang terjadi hanyalah cemburu, pertengkaran,dan curiga yang  timbul namun maknai Cinta itu dengan ketulusan, kerelaan dan keikhlasan karena sifat cinta itu sendiri sesuatu yang indah bukan sesuatu yang menjijikkan atau kotor yang seakan-akan menyenangkan berusaha menjadi orang yang mencintai karena mencintai merupakan sebuah fluktuasi perasaan dan revolusi hati yang luar biasa yang memunculkan ketulusan, kelembutan, kerelaan serta keindahan” tentu dari pendapat ini kita yang muda-muda khususnya tersadarkan tentang apa yang kita petik dari kisahnya bahwa kita tidak perduli apakah orang yang kita cintai itu mencintai kita, yang kita pikirkan kita melakukan yang terbaik untuknya dan membuatnya bahagia. Sungguh indah cinta apabila semua orang menafsirkan cinta dengan demikian maka akan tidak ada lagi orang bunuh diri, bertengkar, saling bunuh yang katanya disebabkan oleh cinta yang ditafsirkan secara salah.

Jika dikaitkan dengan kajian Antropologi tentu problema-problema tentang ironi cinta itu sendiri dipengaruhi oleh proses budaya dengan berbagai perubahannya, perubahan budaya ketimuran yang mulai dipengaruhi atau disusupi oleh budaya barat, paham, kesetaraan gender, juga mempengaruhi pemaknaan cinta masuknya budaya kapitalis dan konsumerism dapat mempengaruhi pemaknaan cinta, seperti yang diuaraikan diatas cinta sebenarnya dilakukan dengan ketulusan, keikhlasan dan ketulusan hati ntah yang kita cintai itu mencintai keberadaan kita namun sekarang cinta juga membutuhkan uang, uang bisa mempengaruhi kadar cinta seseorang jadi jika ketika uang habis cinta juga menipis hingga berpaling pun bisa saja terjadi yang memicu timbulnya sebuah keributan, inilah budaya yang hidup dewasa ini karena proses untuk mengkonsumsi kurang mau tak mau yang larut dalam budaya konsumerism akan melakukan cara apapun termasuk memutuskan hubungannya hanya untuk terpenuhi kebutuhan materinya. Pelaku cinta dalam budaya liberalis pun membawa dampak bagi yang cukup besar dalam realita cinta hari ini budaya liberal yang bebas membawa seseorang memaknai cinta secara bebas dengan seenaknya sendiri tanpa memperdulikan norma dan moralitas, sex bebas merupakan fenomena wajar hari ini dikalangan muda mudi kita bahkan merupakan hal yang menjadi kebutuhan, jika tak melakuakan hubungan intim maka diragukan kesetian dan cintanya padahal cinta sendiri bukan sesuatu yang menjijikan dan kotor seperti apa yang diuangkapkan oleh penyampain teman saya saat menemukan hidayah setelah dicintai seorang perempuan lemah lembut yang religius nya tinggi. Buruknya budaya liberal ini seakan-akan memaknai cinta secara bebas tanpa batasan sesuai dengan keinginan pribadi masing-masing dalam penafsirannya. 




التسميات: